Entah sudah berapa kali aku duduk di teras rukoku ini. Saat sore atau malam hari biasanya aku sering habiskan waktu disini. Adem rasanya, banyak pemandangan yang bisa dilihat. Apalagi kalau malam hari lebih semarak, dari sini bisa terlihat suasana aktifitas malam di tempatku.

Lumayan menyegarkan mata lihat lalu lalang kenderaan, lihat mainan adong-odong anak dengan lampu kelap-kelip diiringi nyanyian lagu anak, ada juga deretan lapak-lapak penjual segala macam dengan lampu-lampu yang terang, ada deretan ruko dan rumah-rumah warga. 7 tahun yang lalu tempat ini lumayan gelap dan sepi padahal di pinggir jalan besar. Pokoknya ramai seperti pasar malam. Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan keramaian disini. Warganya cuek bebek sih.

Saya suka menghayal duduk disini menikmati suasana malam. Saya yakin anda pun pasti nyaman duduk disini 😀.

Yang jadi perhatian saya adalah deretan lapak-lapak jualan itu. Mereka bikin lapak memenuhi pinggir jalan. Ada jualan bakso bakar, warung makanan, jus buah, pulsa dan lainnya.

Wah enak dong saya, kalau lagi lapar perut tinggal nyebrang jalan. Tapi ga juga ding? Saya malas ah, ga selera. Lho kok ga selera? Lha iya, yang jualan makanan disini kebanyakan ga enak, ga pandai masak sih? 😀

Kalau saya lapar, ya harus ke jalan utama, jauh juga dari tempat saya. Nah di pinggi-pinggir jalan utama rada enakan yang jualan makanannya.

Walau pun tampak gemerlap, namun lapak-lapak jualan tersebut sepi pembeli, gemerlapnya suasana lampu-lampu tidak mampu membuat banyak orang tertarik untuk singgah. Lha iya lah, emang orang mau makan lampu apa?

Ngemeng-ngemeng sepi, ada yang pernah bilang di tempat saya ini buka usaha tak kan berkembang alias gulung tikar. Yang jualan bertabur dari ujung ujung, tapi yang beli sepi. Katanya lagi buat ngebuktiin tempat saya ini tidak produktif; coba lihat dari ujung ke ujung ga ada orang chines yang buka usaha dagangan disini, yang jualan disini warga setempat semua.

Ya, orang chines itu piawai berdagang, kalau mereka buka toko pasti ramai. Dengan tidak adanya orang chinese jualan disini itu pertanda tempat ini tidak strategis untuk pasar penjual.

Ya memang seperti itu sih kelihatannya disini. Hanya beberapa toko yang ramai, itu pun toko-toko yang jualan kebutuhan pokok, material dan Swalayan.

Tapi walau sepi, mereka tetap membuka lapak-lapak tersebut. Mungkin karena ga ada lagi ikhtiar lain, ya apa boleh buat tetap diterusin demi tuntutan hidup.

Kasihan juga, sempitnya lahan pekerjaan ditambah masa pandemi yang menyebabkan banyak tenaga kerja yang di PHK, mau tak mau berdagang adalah solusi terakhir. Mungkin mereka juga tahu ga bakal laku dagangan, tapi ya dijalai saja, untung-untunganlah, siapa tahu laku.

Ini semua membuktikan ga gampang berdagang di negeri +62 ini atau di dunia kapitalis ini. Apalagi untuk pedagang yang lurus dan jujur siap-siap ga dapatkan tempat.

Ga semua pedagang yang sukses menjalankan usahanya. Ada yang berhenti di tengah jalan alias gulung tikar, ada yang di awal lumayan ramai pembeli tapi pas seterusnya malah mandeg, ada yang sudah lama berdagang dan berjualan tapi ya tetap gitu-gitu aja, ga ada peningkatan.

Terus apa mereka harus disalahkan, karena kurang ilmu pengetahuan, kurang giat, pemalas dan lainnya?

Dagang itu sebenarnya ga susah-susah amat pak? Ya tinggal cari tempat, sediakan modal, beli dagangan, terus ya duduk di toko/lapak nunggu pembeli.

Tapi dagang jadi susah gara-gara keadaan ekonomi negara ini yang tidak mendukung. Mana bisa dengan gampangnya berjualan jika minat pembeli rendah ditambah banyaknya yang jualan ketimbang yang beli.

Jadi salahkan sistem di negeri ini, salahkan pemimpinnya yang tidak adil dan menzhalimi rakyatnya. Jangan rakyatnya juga lagi yang disalahkan dan diipersulit.

Makanya di negeri +62 ini kalau berdagang sepi, yang disalahkan cara berdagangnya, katanya kurang strategi, kurang relasi, kurang inovasi, kurang promosi, kurang ide, dan kurang kurang lainnya.

Ya sebenarnya apa yang dikatakan para penasehat dan motifator tadi itu ga salah. Tapi mereka terlalu fokus kepada kekurangan si pedagang dan lupa kalau faktor ekonomi negeri ini biang penyebab dan pantas dikambing hitamkan.

Dulu dinegara tetangga Malaysia (ga tahu sekarang ya), disana itu lebih banyak yang berdagang ketimbang kerja makan gaji, kalau pun warganya ada yang bekerja itu di instansi pemerintah (harap diingat warga lokal ga ada yang kerja kuli disana) dan instansi pemerintah disana ga jadi rebutan para pencari kerja, ga kayak di negeri +62 ini yang mana PNS itu jadi rebutan orang banyak, lahan surga dunia itu. Aman sejahtera masa depan hidup kalau sudah masuk PNS.

Di Malaysia masa itu lebih banyak yang berdagang dan para pedagang sejahtera semua. Kenapa? Karena kondisi ekonomi mereka itu stabil, biar banyak yang berjualan tapi daya beli orang tinggi.

Padahal dalam Islam faktor kesuksesan dalam berniaga itu lebih ditujukan kepada keimanan. Kiat sukses berdagang dalam Islam itu jujur, tidak curang, saling menguntungkan, tidak menipu, tidak lupakan ibadah dan lainnya. Itu kunci kesuksesan berdagangnya Rasulullah.

Beda ikhtiar ala islami dan ala kapitalis. Ikhtiar islami lebih mengedepankan keberkahan, sedangkan ikhtiar kapitalis mengejar kesuksesan dunuawi semata.

Tapi di sisi lain kadang saya ngedumel juga lihat orang-orang ini, jualan kok ga punya adab atau asal sabur saja? Umpama sudah tahu dekat situ ada jual jus buah, eh nekad jual jus buah di seberangnya. Ada yang jual pulsa disini, disamping juga jualan pulsa.

Kalau ditanya kenapa kok buka usaha yang sama? Jawabnya: rezeki masing-masing katanya. Dia pikir rezeki itu turun gitu aja dari langit apa? Rezeki memang datang dari Allah, tapi kita sebagai manusia masih terikat hukum sebab akibat.

Kalau jualan sejenis dengan jarak dekat-dekat dengan minat pembeli rendah ya otomatis omset masing-masing berkurang. Dampaknya kepada penjual, sepi pendapatan. Abis itu ya gulung tikar.

Makanya jualan itu kudu pake adab. Kalau didepan kita sudah ada jualan yang sama jenisnya dengan jualan kita, ya jangan jualan disana lagi, atau jualan yang lain saja. Usahakan jangan terlalu dekat jaraknya berjualan dengan produk yang sama. Kecuai pasarnya atau pembelinya memang benar-benar ramai.

Untuk bertahan hidup memang orang lakukan apa aja asal halal, ga perduli mau di pinggir gang kecil, mau di komplek yang sepi pokoknya bikin kedai untuk jualan. Ya ga salah sih, hak mereka mau jualan. Hanya saja siapa yang mau beli?

Kalau pun ada yang beli cuma tetangga kiri kanan, paling jauh beberapa blok dari rumah. Abis gimana lagi, kerjaan susah, tuntutan hidup terus menuntut. Mau tak mau ya jualan apa aja. Entahlah, potret negeriku mungkin, atau potret ditempat saya?

Tapi saya heran juga, katanya negeri ini banyak pengangguran, kesempatan kerja langka, lebih banyak yang jualan daripada yang beli. Apalagi di masa pandemi ini banyak yang di PHK, orang-orang susah untuk mencari nafkah, warga pada berebut saat bansos datang.

Tapi faktanya warga ini masih bisa beli motor. Lihat aja tu jika ada keluaran motor baru walau dibandrol harga 20-30-50jutaan, eh masih bisa beli. Disamping ruko saya ada ruko sorum motor bekas, walau bekas tapi model terbaru dan masih mulus, harga pasti masih mahal, tapi sorumnya ramai lho dikunjungi orang-orang yang mau jual/beli motor. Berarti tingkat kehidupan kita sejahtera dong?

Ngemeng-ngemeng motor, ditempat saya juga banyak pembalap lho. Jalanan besar di tempat saya itu lurus, lempang dan ga ada belok-beloknya, makanya untuk adu kecepatan mantap rasanya.

Berapa banyak motor RX King yang ugal-ugalan disini, ga ada yang larang, wong disini ga ada preman. Tapi jiwa balap mereka bukan hanya di jalan besar, tapi juga di gang-gang kecil. Tak heran banyak kucing yang mati bukan karena makan racun atau sakit, ya diduga tabrak lari. Gawat kan?



Teras rukoku ini memang banyak menyimpan cerita Sob, banyak sekali. Ada kisah si Harimau, ada kisah si Putiih dan kisah si Kuning yang tewas dilindas motor. Mereka semua sudah ga ada. Tapi dulu mereka pernah mengisi hari-hariku di rukoku ini. Sedih juga kalau mengenangnya. Oya anda tahu siapa itu Harimau, Putih dan si Kuning?

Yul betul, mereka senua meong-meong saya. Si Harimau dan si Putih bukan peliharaan, hanya saja mereka penunggu setia di teras rukoku ini. Setiap saya datang ke ruko ini, mereka langsung bangkit mendatangiku, sudah hapal kali kalau saya sering memberi mereka makan. Kalau si Kuning itu peliharaan, sayang usianya ga panjang, dia tewas dilindas motor.

Ada lagi yang mau saya ceritakan, itu kisah dua kucing saya yang mati kena virus tapi kejadiannya bukan di ruko ini melainkan di rumah yang satu lagi. Tapi sudahlah, malas saya.

Ga tahu tulisan ini mau kemana arahnya? Dan apa maknanya? Masa bodohlah...

Cuma pengen menulis aja apa yang ada di kepalaku, apa yang sedang mud dihati.

Sampai saat ingin mengakhiri tulisan ini pun saya masih belum ingin beranjak dari tempat ini. Rasanya masih ingin disini, suasana malam masih melenakan, tapi malam semakin larut dan dingin. Daripada saya menulis kepanjangan dan alurnya makin acakadul ya saya sudahi sajalah.

(Difan96, Rengas Pulau)

Post a Comment