(Sumber gambar: Republika)

Tulisan ini saya publish sebagai bentuk melampiaskan ganjalan dan curahan hati yang tak pernah tercurahkan dan mungkin selama ini tak terdengar oleh Muhammadiyah baik dari para warganya, petinggi cabang, atau pun petinggi pusat. Yaaaah walaupun entah yakin entah tidak, mungkin surat / tulisan ini ga kan pernah tersebar, apalagi dibaca oleh warga Muhammadiyah dan petinggi-petingginya. Blog sepi ini, siapa yang mau baca?

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh...
Kepada Pak Dr. Haedar Nashir Yang Terhormat.

Pak Haedar, perbedaan penetapan berpuasa dan hari raya ini sudah lama saya alami dan rasakan. Sejak lengsernya Soeharto sebagai presiden kedua di negara ini, maka saya tak pernah lagi merasakan nikmatnya berpuasa dan berhari raya bersama-sama mayoritas ummat Islam, karena Muhammadiyah saat itu telah mulai meneguhkan pendiriannya yang kokoh yaitu tak mau lagi ikut pemerintah dalam berRamadhan dan ber-Idul Fitri /Adha.

Sebagai warga Muhammadiyah saya mengekor saja apa yang ditetapkan pimpinan pusat waktu itu, walau sedikit kecewa karena ummat Islam terpecah menjadi dua bagian dalam berhari raya, tapi saya paksakan untuk menyenangkan hati dengan mengatakan bahwa saya ini MUHAMMADIYAH. Ga apa-apa berbeda hari raya, yang penting saya dan keluarga bisa dikenali para jiran tetangga dan orang banyak bahwa kami ini Muhammadiyah yang punya aset banyak, yang punya fasilitas canggih, yang punya pengikut ormas terbesar no 1 di Indonesia, yang berhari raya di tengah-tengah orang yang belum berhari raya. Itu saja alasan yang membuat hati saya mendukung Muhammadiyah dalam hal ini.

Saya ga tahu alasan positif apa lagi yang bisa saya berikan untuk perbedaan ini. Lha memang tidak enak berhari raya terpecah-pecah begini. Tak ada alasan yang bisa menghibur kecuali bangga menjadi orang Muhammadiyah yang bisa tampil beda. Itu saja, ga ada yang lain.

Tahun demi tahun kami rayakan hari raya dalam perbedaan dan loyalitas yang dipaksa-paksakan, sampai akhirnya saya ga kuat lagi dengan perbedaan ini, suatu ketika nanti saya harus mengambil sikap, bahwa saya tak kan mau lagi berlebaran lagi bersama Muhammadiyah, jika masih tampil beda terus. Cukup sudah kenyelenehan ini.

Kami akan mengambil sikap, bahwa detik ini kami akan berpuasa dan berlebaran bersama mayoritas ummat Islam. Tak mau lagi tampil beda.

Pak Haedar, coba bapak cermati kejadian baru-baru ini, sewaktu Muhammadiyah dilarang menggunakan fasilitas umum (lapangan) untuk shalat Ied. Ini bisa jadi publik mulai bereaksi atas sikap egonya Muhammadiyah yang selama ini tak mau mengalah ikut pemerintah. Kritikan demi kritikan kepada Muhammadiyah mulai terdengar di Media Sosial.

Menghadapi hal ini, Muhammadiyah bukannya merasa, malah bersikap sebagai playing victim. Baik warga, aktifis dan petinggi Muhammadiyah bereaksi membela dengan bahasa diplomatisnya yaitu ijtihadiyah, toleransi dan lapang dada. Salah seorang elit Muhammadiyah menuding pejabat yang menolak memberikan fasilitas umum untuk Muhammadiyah sebagai pemecah belah ummat dan tidak toleran, padahal siapa yang memecah belah duluan, bukankah Muhammadiyah dengak sikap ego tak mau ikut keputusan pemerintah? Muhammadiyahlah yang membuat ummat Islam jadi terkotak-kotak dan terpecah belah. Muhammadiyahlah yang menjadi pencetus / pelopor perbedaan dalam berpuasa dan berhari raya di negeri ini.

Pak Haedar yang saya hormati, seandainya bapak mau mengerti keinginan ummat Islam yang ingin serentak bersama-sama melaksanakan ibadah dan perayaan agamanya. Cobalah Muhammadiyah mengerti keinginan ummat Islam ini. Apakah bapak fikir ga ada yang dirugikan oleh perbedaan yang dibuat Muhammadiyah selama ini? Apakah bapak fikir semua semua warga Muhammadiyah di Indonesia nerimo dengan segenab keikhlasannya dengan keputusan ormasnya yang bertentangan dengan hati nurani ini?

Pak Haedar, tidak semua warga Muhammadiyah itu keluarganya juga Muhammadiyah. Suaminya, istrinya, anaknya belum tenru Muhammadiyah, belum mertuanya. Dengan adanya hari raya yang berbeda-beda ini tentu akan sangat tidak nyaman. Apakah bapak pernah lihat suami dan istri shalat Ied terpisah-pisah? Suaminya berhari raya hari ini karena ikut Muhammadiyah, istri dan anak-anaknya besok, karena ikut pemerintah. Malah ada ibu yang konflik dengan anaknya gara-gara perbedaan hari raya ini.

PERNAH BAPAK BERFIKIR SAMPAI SEJAUH INI...?
PERNAH MUHAMMADIYAH MENGERTI KEADAAN SEPERTI INI...???


Hari raya yang idealnya itu seluruh keluarga, jiran, tetangga bisa serentak bersama-sama merayakannya. Siapa pun pasti akan bilang begitu yang nyaman rasanya pak? Jangan katakan lagi toleransi, lapang dada, saling menghormati pak?

Apakah bapak mau rela dan berlapang dada jika Muhammadiyah terpecah menjadi dua kubu? Rela tidak pak, ormas Muhammadiyah terpecah belah? Kalau Muhammadiyah tak rela organisasinya terpecah jadi dua kubu, maka jangan paksa kami untuk toleran dengan perbedaan yang dilakukan Muhammadiyah.

Pak Haedar, kenapa Muhammadiyah kokoh sekali mempertahankan perbedaan ini pak, apa faedahnya, apa besar sekali pahalanya? Tak bisakah Muhammadiyah mengalah ikut pemerintah? Bukankah kebersamaan itu lebih menyamankan hati, lebih banyak maslahatnya untuk ummat. Tak bisakah Muhammadiyah melihat hal yang sesimpel ini? Muhammadiyah selama ini bukankah selalu mendukung persatuan ummat? Terus kenapa dalam hal ini harus di bikin beda? Ga malu pak dengan ummat non Muslim yang perayaan agamanya selalu kompak dan bersama-sama.

Saya tulis curhatan ini dengan bahasa yang sederhana saja pak, ga ribet-ribet, ga tinggi-tinggi supaya lebih mudah diterima dan dimengerti hati sanubari. Saya ga akan bahas apa itu Rukyah, apa itu Hisab, apakah Hisab bid'ah, apakah Rukyah sesuai Sunnah (walau pun saya mengganggap Rukhyah lah yang paling tepat karena sesuai sunnah), saya ga bahas pemerintahnya bukan ulil amri, mentri agamanya begini begitu, dan bla bla lainnya. Saya ga kan bahas itu pak, karena percuma saja, pasti akan terjadi debat tak berujung, masing-masing akan klaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan islami. Saya akan bicara yang sederhana saja dalam masalah ini pak, yaitu PERSATUAN UMMAT ISLAM. Bagaimana supaya ummat Islam Indonesia ini bisa bersatu dalam puasa dan hari rayanya. Itu saja pak, sekali lagi PERSATUAN UMMAT ISLAM....!!!

Sudah terlalu banyak toleransi dalam tubuh ummat Islam ini pak, jangan ditambah lagi. Bahkan amaliyah yang tak ada amalannya pun ditoleransi agar bisa diterima dan tidak lagi dikritisi. Terus apa mau ditoleransi juga perbedaan berhari raya? Kalau ummat Islam tak bisa bersatu dalam fiqih dan aqidahnya, minimal bersatulah dalam melaksanakan Puasa dan Hari Rayanya. Jika ini pun tak bisa bersatu, mau kemana lagi dibawa ummat ini pak...????

Pak Haedar, Muhammadiyah itu artinya pengikut Nabi Muhammad Shalallahu 'alahi wassalam, jadi sudah semestinya Muhammadiyah itu ikut kepada amalan/keyakinan yang dicontohkan Nabi. Kokohlah diatas sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam pak, bukan kokoh diatas yang lainnya.

Demikian surat / curhatan saya yang tak intelek dan tak berbalas ini. Semoga bapak maklum, semoga Muhammadiyah bisa menerima uneg-uneg ini. Saya tak benci Muhammadiyah sebagaimana bencinya saya kepada Ade Armando, Abu Janda, Denny Siregar dan kaum munafik lainnya. Muhammadiyah adalah tempat pertama kali saya mengenal Sunnah. Ini cuma kritikan dan curhatan.

Semoga ummat Islam ini bisa lebih cedas berislamnya, lebih berwawasan, lebih bersatu diatas Haq, lebih kokoh dalam mengikuti Nabi, tidak terkotak-kotak dan tidak fanatik buta dalam menerima kebaikan dan kebenaran yang datangnya dari Allah Azza Wa Jalla...

Post a Comment