Sumber gambar: Google
Bismillahirahmanirrohim..
Saya bekerja di bidang farmasi sudah cukup lama, ada kurang lebih dari 20 tahun, sehingga sudah cukup kenyang makan asam garam, dari profil budaya perusahaan sampai berbagai macam tipe jenis atasan.
Saya orangnya tipe pengamat. Senangnya menganalisa dan mengamati. Hingga kurun waktu tersebut saya bisa mengambil sebuah kesimpulan. Bagaimana tipe tipe atasan dan orang orang yang ditemui.
Ada yang hanya faktor "Dewi Fortuna" hingga ia mampu mencapai top management, ada yang dengan "skill" menjilat yang ia kuasai hingga bisa menuju posisi puncak, dan ada yang benar benar berkualitas dari sisi kemampuannya.
Perbedaan ini juga menghasilkan outcome yang signifikan. Bagi yang berproses dengan kemampuan yang berkualitas umumnya lebih awet di posisinya. Namun bagi yang instan atau karbitan, biasa ibarat bintang jatuh, bersinar hanya pada awalnya saja, kemudian hilang tak berbekas. Hal ini umumnya demikian.
Tetapi dewasa ini, yang saya lihat tidak seperti itu. Fakta dilapangan orang-orang yang berkualitas itu sudah tidak tampak lagi. Kebanyakan mereka hilang dan mungkin sudah beralih profesi sebagai wiraswasta atau mungkin karirnya tidak akan naik lagi. Sedangkan si karbitan mereka semakin awet dan menggurita. Tau tidak kenapa?
Karena si karbitan mensosialisasikan budayanya dengan kelompok kelompoknya. Ia melakukan "pengembangan" dengan jajaran dibawahnya agar bisa mengikuti langkah langkahnya. Hingga ketika masanya sudah terkumpul banyak, maka orang orang yang berkualitas siap-siap untuk tersingkir dari arena pekerjaan secara langsung ataupun tidak.
Jika si karbitan sudah mendominasi sebuah perusahaan maka ia pun bisa menguasai perusahaan tersebut. Mirip seperti Yahudi yang mencaplok tanah Palestina.
Kompetisi yang terjadi antara orang orang yang berkualitas dengan orang orang karbitan akan berlangsung dengan tidak sehat. Si karbitan akan menghalakan segala cara demi mewujudkan cita citanya.
Kebanyakan karbitan ini menguasai ilmu menjilat tingkat tinggi. Ilmu menghambakan kepada manusia melebihi penghambaannya kepada Sang Maha Pencipta. Ia selalu ada setiap 24 jam untuk kepentingan atasannya. Tujuannya tidak lain agar ia bisa mendapat tempat di hati sang bos.
Dan budaya jilat ini akan menggurita, tidak hanya bermain di level atasan saja, bahkan sesama level juga akan berusaha menjilat bahkan dengan cara menjatuhkan teman sekalipun. Budaya tersebut akan menghasilkan efek yang negatif. Terciptanya subjektifitas terhadap kinerja karyawan. Sermua ditimbang secara personal. Dan mengabaikan kualitas serta objektifitas.
Lebih baik menaikkan orang yang sejalan dengan saya walaupun tidak cakap, dibandingkan merekrut orang orang yang cakap tapi tidak sejalan sama saya.
Slogan inilah yang melekat dimereka, sehingga hanya orang orang yang memiliki ilmu menjilat saja yang bisa bertahan hingga sekarang.
Naifnya dulu orang orang berkualitas karena objektifitasnya ia pun menaikkan orang yang tidak sejalan dengannya. Dengan alasan kemampuan orang tersebut. Seiring berjalannya waktu, orang yang dinaikkan itu pun akan mendepak bos yang mengangkatnya, agar ia bisa naik dan mengajak orang -orang yang bisa sejalan dengannya.
Fakta mencengangkan adalah dulu ketika orang orang berkualitas menghasilakn presetasi itu adalah real, hasilnya merupakan bagian kerjasama dari team. Berbeda dengan apa yang diciptakan oleh kaum karbitan. Hasil yang didapat bukanlah hasil jerih payahnya, bukan pula hasil kerjasama dia dan team. Tapi lebih kepada hasil kerja keras bawahan yang di intimidasi sampai frustasi. Sehingga bawahan pun kerap akan mengupayakan hasil diluar batas kemampuannya bahkan mengorbankan dari gajinya sendiri.
Lalu, yang dapat nama siapa?
Bawahannya kah?
Tentu Tidak..!!
Atasannya kah..?!
Absolutely..!!
Ia pun dinilai berhasil oleh management, karena mampu menaikkan sales dengan signifikan. Dianggaplah itu sebagai kerjasama dia dengan team dan kontribusinya sebagai seorang leader. Ini ada data yang terekam di atas kertas. Seperti inilah kondisinya.
Pernah tidak kepikiran terhadap bawahan yang sudah mati-matian bekerja, frustasi, diintimidasi, semua ia lakukan agar dapurnya tetap ngebul, harus membiayai anak istrinya. Dan apa yang ia kerjakan dan hasilkan, itu tidak menaikkan namanya, bahkan tidak juga menaikkan gajinya jika ia sudah tidak disukai atasannya. Tetapi yang dilihat dan dianggap pahlawan adalah atasannya. Padahal si atasan karbitan penjilat ini tidak bisa kerja, cuma bisa memarahi, menghakimi, mencari cari kesalahan dan mengintimidasi dengan iming iming PHK !!!
Maka si atasan pun bisa menjual "prestasinya" itu ke berbagai perusahaan lain dengan torehan di Curicullum Vitaenya, bahwa ia berhasil menaikkan sales sampai 200%, ia berhasil membangun penjualan produk baru hingga banyak digunakan dimana mana. Dan tidak ada mengecek kebenaran dari "presetasi" tersebut. Miris bukan? Apakah pantas orang seperti ini mendapatkan torehan prestasi?
Sadar gak, bahwa torehan prestasi untuk bisa melompat ke berbagai perusahaan itu akan menjadi dosa jariyah, jika si bawahan tidak ridho, jika si bawahan tidak ikhlas akibat kedzalimannya. Dan si atasan karbitan akan terus dihitung dan mengalir dosa dosa jariyahnya hingga ia pensiun. Ini belum dihitung gaji dan uang yang ia dapatkan selama dosa jariyah itu berjalan mengalir kemana? Dan ketika pun ia pindah kemana saja, keahlian menjilat, subjektifitas dan intimidasi itu tetap saja ada dan tidak juga berubah ke arah yang baik dan malah bertambah parah, maka orang -orang seperti ini tidak perlu mendapatkan MAAF dari orang-orang yang didzaliminya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata:
"Sesungguhnya memaafkan lebih utama dan lebih baik, KECUALI jika orang yang berbuat jahat kepadamu adalah seseorang yang dikenal akan kejahatan dan kerusakannya, dan jika engkau memaafkannya maka kejahatannya akan semakin besar (semakin menjadi-jadi tidak jera, pen) , maka dalam keadaan seperti ini yang lebih utama adalah dengan tidak memaafkannya, bahkan engkau ambil HAKMU demi perbaikan itu LEBIH UTAMA."
(Syarh Riyadhis Shalihin, jilid 1 halaman 180)
Allahu yubarik fiik
Abu Muhammad
Sidoarjo, 29 Juni 2021.
Post a Comment