Gara-gara kenaikan gaji tunjangan anggota DPR dan joget-joget para artis yang juga anggota DPR ternyata menyinggung perasaan rakyat, ditambah dengan pernyataan-pernyataan artis-artis yang semakin membuat emosi. Rakyat menilai seolah para artis ini bersuka ria atas kenaikan tunjangan dan tidak peka terhadap penderitaan mereka.

Maka terjadilah demonstrasi di berbagai daerah untuk menuntut pembubaran DPR. Namanya juga demonstrasi, mana ada senyam senyum, say hai dan hello. Aktifitas demo pasti selain orasi, caci maki, dorong-dorongan dan lempar-lemparan batu antara pendemo dan aparat.

Bagai api dalam sekam, takutnya sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, dan betul terjadi, dalam aksi demonstrasi, seorang pengemudi ojol tewas dilindas oleh kenderaan semi militer aparat Brimob (Turut berduka cita kepada Affan Kurniawan, driver ojol korban dari aksi demonstrasi, semoga dilapangkan kubur beliau, diampuni dosanya). Amarah rakyat pun makin membuncah. Pecahlah kerusuhan demi kerusuhan, seperti yang kalian saksikan di media-media internet.

Tapi anehnya hanya korban yang diakibatkan dari tindakan aparat saja yang viral, sedangkan korban yang diakibatkan salah sasaran dari ulah anarkis pendemo, tak ada reaksi, tenang-tenang saza baah...

Apa Yang Saya Lihat Dari Kasus Demonstrasi Rakyat Ini?

Saya jadi teringat peristiwa kelam pada Mei 1998, demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang begitu semangatnya melengserkan kekuasaan rezim ORBA. Demo 1998 dengan demo 2025 nyaris sama. Sama-sama protes kepada penguasa dan ingin melengserkan presiden, sama-sama anarkis karena ada korban oleh aparat, sama-sama ada penyusup/profokator, sama-sama menjarah. Bedanya: Demo 1998 aparatnya yang refresif, sedangkan demo 2025 pendemonya yang agresif sampai menormalisasi anarkisme dan penjarahan.

Saya sendiri pernah ikut dalam aksi unjuk rasa di gedung DPR bersama rekan-rekan mahasiswa pada Mei 98, Alhamdulillah tidak sampai terlibat anarkisme (kampus saya Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara insyaAllah mahasiswanya orang yang baik-baik dan agamis, bukan bar-bar). Walaupun pada-akhirnya demo pelengseran Soeharto tersebut saya sesali, bukan cuma saya, banyak para mahasiswa yang turut dalam aksi tersebut menyesal karena melengserkan Soeharto.

Tapi tulisan ini bukan mengupas tema politik, makar atau membahas konspirasi seputar demonstrasi atau semisalnya. Ini cuma mencurahkan kekesalan saya aja kepada rakyat.

Iya, rakyat Indonesia.

Begini... Coba lihat aksi demonstrasi yang sedang berlangsung ini, rakyat yang katanya tertindas, yang katanya lemah, yang katanya ingin menuntut keadilan malah menjarah toko, menjarah aset gedung dewan, menjarah rumah-rumah para artis/pejabat. Bukankah ini maling teriak maling, rampok teriak rampok namanya? Tak ada bedanya ternyata antara rakyat dan pejabatnya.

Orang kayak gini mau menuntut perubahan, keadilan dan perbaikan...??? Jauhlah langit dan bumi. Baiknya kalian ambil cermin dan MENGACALAH, sama aja kebobrokan kalian dengan penguasa. Begitu rakyat, begitu pula pemimpinnya.

Dengan bangganya para maling dan perampok ini menunjukkan hasil jarahan mereka di depan kamera, sambil berkata: "milik rakyat!". Begitu pun rumah-rumah para artis dan pejabat yang mereka jarah, mereka tulis disana: "Rumah ini disita rakyat!".

"Hey manusia...!!! Apa rumah dan segala harta benda itu milik nenekmu, milik leluhurmu yang bisa seenaknya kau sita...!!???"

Mungkin anda mengira itu ulah penyusup, ulah profokator?

Wajah-wajah para penjarah yang tersorot kamera tersebut memang familiar wajah rakyat, lihat saja anak-anak pun bisa menjarah jam tangan mahal. Kita bisa buktikanlah bagaimana prilaku rakyat diluar kejadian demo. Salah satu bukti nyata: lihat berita-berita kecelakaan, dimana warga bukannya menolong korban, malah berebut menjarah barang-barang yang jatuh dari kenderaan. Dimana ada kejadian kenderaan mengalami kecelakaan yang membawa muatan berharga, warga berebut menjarah. Di hampir setiap daerah seperti ini.

Mental rakyat kita memang mental miskin, mental penjarah, mental maling, mental pencuri. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Yang begini mau protes kesalahan penguasa? Mereka sendiri ga jauh beda dengan yang mereka protes. Pejabat kalian katakan merampok uang rakyat, tapi kalian sendiri merampok rakyat juga. Standar ganda.

Rumah artis / pejabat yang kalian jarah bukan milik kalian, sekali pun mereka itu punya kesalahan. Bisa jadi harta mereka memang didapat dari hasil jerih payah mereka, bukan dari korupsi, apa pun itu, bukan hakmu merampasnya. Fokus saja mengadili kesalahan, bukan merampok harta mereka. Dan harap kalian ingat, segala perbuatan kalian merampas milik orang lain akan diminta pertanggung jawaban kelak di yaumil akhir.

Sama saja itu mahasiswa, rakyat. Saya lihat di video-video, para mahasiswa pun berlaku kasar kepada aparat dengan mengejek, memukul, berkata kasar, memprofokasi. Saya pernah jadi mahasiswa, jadi tahu bagaimana mereka. Memang tak semua mahasiswa seperti itu, tapi tak banyak juga jumlahnya. Mahasiswa yang intelek tahu etika dan adab dalam berdemo itu sedikit jumlahnya.

Dulu saat peristiwa Mei 98, saya begitu bencinya dengan aparat yang semena-mena dengan rakyat, hati saya puas dengan berbagai tindakan anarkis pendemo, merusak fasilitas umum, membakar kantor polisi, menjarah. Saya fikir ini adalah kebenaran mencari jalannya.

Tapi sekarang saya sadari, semua anarkisme dalam demonstrasi baik itu dari aparat atau pendemo adalah kemunduran moralitas dan iman. Demo itu sendiri saja sebagian ulama mengharamkannya, sebagian lagi membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana mungkin kita berdemo dengan sesuka hati kita, memancing keributan, membakar, membunuh, menjarah, merusak. Tentu yang kayak gini jelas haram hukumnya.

Bukan berarti saya pro penguasa dan menihilkan perjuangan rakyat yang menuntut hak mereka ini. Tapi melihat kondisi bangsa ini mulai dari rakyat dan pemimpinnya, maka bangsa ini perlu berbenah diri. Bukan demo solusi dari perbaikan bangsa ini, tapi Muhasabah Diri, Taubat Nasuha. Kembali ke jalanNya.

Keterpurukan yang kita alami sekarang ini, bisa jadi teguran / hukuman dari Allah. Coba intropeksi diri, apa dosa yang kita perbuat? Kita yang tahu dosa kita sendiri. Sudahkah kita jalankan apa yang diperintahkanNya, sudahkah kita jauhi apa yang dilarangNya?

Jangan harap anda mendapatkan pemimpin yang adil dan amanah kalau andanya sendiri pun jauh dari kriteria seperti itu.

Jangan harapkan kemakmuran dan kesejahteraan turun di negeri ini, kalau kitanya masih bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan.

Sejuta kali anda berusaha keras memilih pemimpin yang baik, ga kan anda dapatkan. Sejuta kali anda melakukan demonstrasi untuk perbaikan, ga kan ngaruh, sepanjang kalian tidak kembali kepadaNya.

Allah tak kan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya.

Ayo, berbenah, perbaiki ibadah yang sudah lama ditinggalkan, tinggalkan perbuatan curang dan yang haram, jalankan sunnah-sunnah Nabimu. Dimulai dari diri dan keluarga kita.

Ingat ya, pemimpin yang baik, lahir dari rakyat yang baik juga.

Semoga Allah Ta'ala menjaga negeri kita dan memberi pemimpin yang selama ini kita dambakan.

Post a Comment