Namun dibalik kegembiraan, ada yang tidak mengenakkan di Ramadhan tahun ini. Qadarullah kita kembali mengalami perbedaan dalam menentukan 1 Ramadhan. Persyarikatan Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan pada 2 April 2022, sedangkan pemerintah pada 3 April 2022. Muhammadiyah berpuasa 30 hari, sedangkan ummat Islam yang ikut pemerintah berpuasa 29 hari.
Setelah sekian lama selalu bersama-sama dalam Ramadhan dan Syawal, pada akhirnya kembali berbeda. Sungguh benar-benar suasana yang sangat-sangat tidak diharapkan.
Selama ini saya berfikir kebersamaan yang sudah terjalin belakangan ini menandakan kedewasaan ummat Islam Indonesia, khususnya ormas-ormas Islam di negeri ini. Mereka tidak lagi mengedepankan ego demi persatuan ummat. Namun faktanya ternyata mengecewakan.
Jujur saya sedih, geram, marah melihat ini. Betapa tidak, banyak keadaan dan situasai yang tidak mengenakkan atas terjadinya perbedaan ini.
Pertama: Umat Islam awam kebingungan mau ikut yang mana, karena kebetulan ditempat tinggalnya mayoritas Muhammadiyah.
Kedua: Tidak semua dalam satu keluarga itu satu pemahaman, misalnya: suaminya Muhammadiyah, istrinya Al-Washliyah, anak-anaknya Muhammadiyah dan Salafi. Bayangkan betapa tidak nyamannya situasi kayak gini.
Ketiga: Ummat Islam yang berfaham sunnah kebingungan mau shalat Taraweh dan Shalat Ied dimana? Selama ini mereka beribadah di Masjid Muhammadiyah. Sementara mayoritas masjid-masjid dekat rumahnya adalah berfaham Asyari / Aswaja. Sudahlah masjid sunnah sedikit, shalat pun tak nyaman.
Keempat: Jika ikut Muhammadiyah, maka sangat tidak enak merayakan Iedul Fitri dalam keadaan minoritas. Disaat kita bertakbir di pagi hari, masyarakat kebanyakan malah beraktifitas seperti biasa. Sudahlah minoritas, makin super minoritas.
Ternyata ummat Islam kita ini belum dewasa, masih unjuk nama besar kelompoknya ketimbang berislamnya. Muhammadiyah misalnya dari dulu menjadi pembeda dalam penentuan Ramadhan dan Syawal. Dengan dalih tehnologi sudah canggih dan semangat Al Quran katanya, mereka dengan bangganya berpuasa dan berhari raya sendiri, tanpa mau mengikuti keputusan pemerintah. Ketika dinasehati, mereka makin percaya diri dan membangga-banggakan keputusan yang mereka ambil.
Seperti kita ketahui, Muhammadiyah selalu menggunakan metode Hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal. Padahal Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, Shahabat, Tabi'in dan era 4 imam mazhab, tidak pernah menggunakan Hisab untuk berpuasa Ramadhan dan berhari raya. Di zaman Nabi telah ada Hisab, namun tidak digunakan. Hisab baru digunakan oleh ulama zaman mutaakhir.
Maka mana yang lebih afdhal diikuti, Rukyat dengan ijma ulama yang notabene Sunnah, atau Hisab yang tidak ada dalil serta perbuatan Nabi dan para Shahabat? Jika kita memang mengaku pengikut Sunnahnya Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam, mana yang lebih kuat diikuti, Sunnah Nabi kita atau kecanggihan tehnologi yang pada faktanya itu menyulitkan?
Nama besar dan pamor organisasi itu lebih utama ketimbang mengalah untuk kebersamaan ummat. Kalau sudah begini benarlah jua adanya, kalau organisasi itu cenderung membuat jamaah sendiri-sendiri.
Semangat beragama dalam organisasi/kelompok lebih loyal pada komunitasnya ketimbang kepada Islamnya. Hingga jika ada kebenaran yang datang dari luar kelompoknya atau terdapat kekeliruan yang berasal dari kelompoknya, maka ia pun menolak kebenaran tersebut dan tetap taqlid buta, taat dan patuh kepada komunitasnya. Harusnya ummat Islam sejati itu ikut kepada dalil agamanya, walau pun dalam organisasinya ada yang keliru maka ia tegas untuk tidak mematuhinya.
Kita berpuasa dan berhari raya ikut pemerintah bukan karena ingin taat buta kepada penguasa. Saya juga tahu bagaimana rezim sekarang ini? Hikmahnya kita berpuasa dan berlebaran ikut pemerintah agar ummat Islam ini bisa bersatu dalam momen perayaan besar Islam. Tidakkah kalian mengerti wahai ormas? Bayangkan seandainya semua ormas/kelompok ummat islam di Indonesia ini diberi kebebasan dan mampu untuk menetukan Ramadhan dan Syawal, apa jadinya ummat ini? Kacau, tak ada lagi harganya persatuan ummat.
Lagi pula menentukan Puasa dan Hari Raya merupakan wewenang pemerintah dengan ulil amrinya (Ulama), bukan wewenang organisasi/kelompok, kalau memang kita punya keahlian, ya serahkan saja hasilnya pada pemerintah, bukan malah memutuskan sendiri.
Betapa tidak enaknya perbedaan itu. Sangat tidak enak
Mana ada berbeda itu melapangkan hati? Berbeda itu banyak ga enaknya. Cari teman saja harus yang banyak persamaannya: sama-sama sehati agar bisa nyambung dan saling curhat. Cari pasangan apa lagi, harus satu aqidah, satu manhaj, satu misi dan visi agar bisa saling beriringan, agar hidup bisa damai dan tentram. Lantas bagaimana dalam hal ini kita bisa dipaksa menghargai perbedaan?Coba saja jika dalam tubuh ormas kalian terpecah menjadi 2 keyakinan. Apakah enak bagi kalian? Apakah kalian menerimanya dengan lapang dada atas nama menghargai perbedaan..????
Sudah cukup perbedaan demi perbedaan di tubuh ummat Islam. Jangan ditambah lagi dengan perbedaan-perbedaan yang tidak ada manfaatnya. Ummat Islam ini sudah habis diobok-obok, jangan lagi karena masalah kayak ginian makin diobok-diobok.
Semoga kita menyadari bahwa diatas semua itu Islam lah yang paling no 1. Apapun ormas / kelompok kita, itu semua wasilah/sarana, tetap yang kita dahulukan adalah Al Quran dan Sunnah. Yang kita pentingkan itu Islam dan kaum Muslimnya. Orang Islam sejati itu adalah yang kokoh dan setia kepada ajaran agamanya bukan setia dan kokoh kepada keyakinan ormas/kelompoknya.
Selamat menunaikan ibadah shaum Ramadhan.
Post a Comment