Sudah satu jam lebih Ronald berjalan di trotoar ditengah teriknya sinar mentari yang membakar kulitnya. Rasa haus yang mengusik tak diperdulikannya lagi. Ronald berjalan tak tentu tujuan. Fikirannya kosong, menerawang entah kemana. Berkali-kali dia menarik nafas panjang tanda beban di hati itu masih terus mengusiknya.

Ronald ga tahu kemana tujuan kakinya melangkah. Sepertinya dia keluar rumah hanya ingin menangis, mikirin gimana masa depan anak dan istrinya. Mikirin gimana dia harus memberi nafkah anak dan istrinya. Ronald putus asa. Ingin sekali dia berharap meminta tolong kepada orang-orang. Kalau melihat mobil-mobil mewah dan orang-orang yang berpakaian bagus yang lalu lalang, ingin rasanya dia berkata:

"Tuan-tuan yang mapan dan berkecukupan, adakah kerjaan untuk saya, sudilah bantu saya, agar saya bisa memberikan nafkah untuk anak dan istri? Bantulah saya tuan, saya akan sangat berterima kasih, saya akan selalu mendoakan tuan-tuan".

Namun sekuat apa pun dia berharap dan meminta, toh percuma saja, dia tak kenal dengan orang-orang sukses dan orang-orang kaya itu. Sekalipun kenal belum tentu juga mereka mau menolong.

Aktifitas Ronald hanya menjual roti keliling dengan sebuah motor bututnya. Berapalah penghasilan tukang roti? Hanya sekedar mencukupi, itupun banyak kurangnya. Sudah terlalu banyak orang yang berjualan tapi yang membeli tak banyak.

Ronald memang belum lama menikah, baru 7 tahun dia jalani. Istri ronald adalah wanita yang baik, dia mau menerima Ronald walau Ronald tak punya penghasilan.

Masih ingat 7 tahun yang lalu, Eva istrinya Ronald saat berkunjung ke rumah Ronald. Ia tertegun saat melihat Ronald hendak pergi ke Masjid. Eva sangat respek dengan pria yang sering ke Masjid. Pria yang suka shalat di Masjid itu keren katanya.

Jadilah Eva menikah dengan Ronald dengan pernikahan yang sangat super sederhana. Pernikahan mereka memang aneh di mata orang-orang. Disaat orang-orang berpacaran dan berlama-lama dalam menikah mereka malah tanpa wakuncar dan segera menikah. Disaat orang kebanyakan menikah harus dengan pesta yang meriah dengan mempelai duduk dipelaminan bak raja dan ratu, Ronald dan Eva malah malah hanya mengadakan acara syukuran sederhana, tak ada pelaminan, tak ada raja dan ratu. Yang ada hanya akad nikah yang dipimpin oleh tuan kadi/penghulu.
Dari pernikahan mereka, Ronald dan Eva dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Tanda cinta Allah kepada mereka.

Eva bekerja di sebuah perusahan dengan gaji yang ga bisa dibilang kecil. Selama ini dia yang membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapi Qadarullah, Covid-19 datang melanda Indonesia. Eva pun terpaksa dirumahkan dengan kata lain di PHK karena perusahaan tak mampu lagi menggaji para karyawannya akibat dampak si Covid tadi. Ronald dan Eva pun makin terpuruk.

Dengan di PHK nya Eva, maka terpaksa orang tua Ronaldlah yang menanggung semua beban kebutuhan mereka. Dagangannya Ronald, sudah tak bisa diharapkan lagi. Sebelum Covid saja sepi apalagi sesudah Covid, makin sepi. Karena keadaan yang tak mengenakkan inilah mungkin sering menimbulkan gesekan antara Ronald dan orang tuanya.

Semua orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang sukses dan mapan dalam kehidupan, sehingga orang tua bisa ikut menikmati kesejahteraan sang anak. Tapi orang tua Ronald tidak mendapati anaknya seperti itu. Yang mereka dapatkan malah anak yang pengangguran dan menyusahkan pula. Orang tua mana yang tak kesal?

"Kamu dari SD sampai kuliah sudah kami tanggung semua biaya. Sudah menikah begini masih kami juga yang menanggung? Kapan kami bahagianya dan menikmati jerih payah ini?"

Itu omelan sang ortu karena sudah tak tahan lagi melihat anaknya yang luntang lantung tak ada penghasilan. Konflik dan gesekan kerap terjadi. Kadang Ronald tak tahan, sesekali dia membalas ucapan kasar orang tuanya saat melihat istrinya selalu dijelek-jeleki dan dimarahi. Dan saat konflik memuncak seperti ini, keluarlah ucapan:

"Anak durhaka, belum lagi kamu memberi, sudah membantah, pergi dari rumah ini, bawa istri dan anak-anakmu..!!

Jika konflik sudah memuncak, kata-kata itulah yang sering didengar Ronald. Bertambah terpuruk hatinya. Tak jarang air matanya mengalir, diam-diam dia menangis.

Sudahlah begitu, istri Ronald pun ikut juga menyalahkan Ronald, mungkin karena sudah tak tahan diomeli mertua, Eva ingin balik ke rumah orang tuanya. Tinggallah Ronald yang semakin super terpuruk. Sudah jatuh ketiban mesin bubut pula.

Sering Ronald iri melihat pernikahan teman-teman, saudara, dan tetangganya, pernikahan mereka sepertinya bahagia, dikaruniai orang tua yang baik, mata pencaharian yang cukup, mapan dan sejahtera, punya rumah, punya motor, punya mobil. Ah betapa bahagianya bisa memberi kesejahteraan kepada anak dan istri. Kapan aku bisa seperti itu?

Terkadang Ronald sering berkhayal kepada istrinya saat melihat rumah-rumah orang yang sederhana dan adem ketika mereka bepergian berdua.

"Dik, andaikan abang punya penghasilan tetap dan kita bisa punya rumah kayak gitu, alangkah bahagianya ya, saat sore setiap abang pulang kerja, kamu membuatkan teh untuk abang, dan kita duduk bersama anak-anak kita, bercengkerama, alangkah damainya ya dik?"

Eva hanya tersenyum sedih, "Iya bang, Eva ingin sekali punya rumah, dimana hanya kita berempat yang tinggal disana, abang, Eva dan anak-anak kita". Ga pa-pa kita hidup kekurangan asal hati damai dan bahagia".

Ronald hanya bisa menarik nafas panjang, panjang sekali. Semoga suatu hari bisa terwujud keinginan tersebut.

Sudah tak terhitung berapa kali Ronald, istri dan anaknya mendapatkan pengusiran. Tapi Ronald masih bertahan, dia memikirkan nasib anak-anaknya, apalagi si kecil yang masih berusia 5 bulan.
"Ya Rabb, kenapa setelah menikah hamba mengalami hal menyedihkan seperti ini? Biarlah hamba miskin ya Rabb, asalkan hati ini bahagia". Ronald mencurahkan isi hatinya kepada Rabbnya.

Ronald masih ingat dulu saat masa-masa menjelang pernikahannya. Betapa bahagia tiada terkira, mendapatkan calon istri yang baik dan menerima dia apa adanya. Terbayang hal-hal yang indah didepan mata. Setiap sebelum Shubuh dalam perjalanan ke Masjid, sambil menghadap ke langit, dia selalu curhat kepada RabbNya tentang kebahagiaannya itu, seolah seperti berbicara kepada seorang yang mendengar segala keluh kesahnya.

Ronald bahagia, sebentar lagi dia akan mengakhiri masa lajangnya. "Akhirnya aku menikah juga setelah sekian lama?" batinnya.

Tapi siapa sangka setelah menikah kehidupan menyedihkan yang selalu diterimanya.

Satu-satunya orang yang selalu menolongnya adalah kakaknya. Kakak Ronald-lah yang setiap bulan selalu mengirim uang untuk membantu mencukupi kebutuhan Ronald, istri dan anaknya. Tak terhitung sudah kebaikan yang diberikan sang kakak tersebut. Ronald hanya bisa membalas dengan doa, semoga kebaikan selalu tercurah kepada sang kakak dan keluarganya.

Ingin sekali rasanya Ronald membawa anak dan istriya pergi dari rumah orang tuanya. Tapi mau pergi kemana? Kolong jembatan atau emperan toko? Andaikan saja ada orang yang berbaik hati memberikan tempat tinggal untuk dia, istri dan anaknya walau hanya sepetak gubuk, sudah sejak dari dulu dia membawa anak istrinya keluar dari rumah orang tuanya tersebut. Ronald hanya ga ingin melihat istrinya sering menangis.

Ronald sudah berkali-kali bilang ke orang tuanya,
"Tolong pak, bu, marahin saja saya, jangan istri saya, dia ga bersalah. Belum lagi saya beri nafkah dia, tapi dia sudah saya buat menderita begini?".

Padahal Eva itu istri yang baik. Dia istri yang rajin, sebelum Shubuh dia sudah berkutat di dapur, beres-beres rumah. Bahkan sebelum pergi kerja, dia masih sempat memberi makan anaknya.

Eva sebenarnya sangat sayang kepada mertuanya. Sering dia membawakan oleh-oleh saat terima gajian. Ya, Eva sudah tak punya orang tua lagi. Jadi dia anggap mertuanya adalah pengganti orang tuanya. Tapi kebaikan sepele tersebut ternyata belum cukup mendapatkan tempat di hati orang tuanya. Mungkin karena sudah terlanjur kecewa melihat Ronald yang pengangguran.

Ronald semakin tidak betah berada di rumah orang tuanya. Setiap pulang ke rumah hanya suasana suram yang dia rasakan. Tidak ada kedamaian dan keteduhan. Satu-satunya yang membuat dia rindu ingin pulang, hanya karena ingin ketemu anak-anak dan istrinya. Merekalah syurga dunianya Ronald, tempat dia melepas lelah dan kesedihannya.

Tidak ada yang bisa dilakukan Ronald kecuali menerima semua ini dengan kelapangan hati. Bagaimana pun pada akhirnya dia tak menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri yang memang belum mampu membahagiakan istri, anak dan orang tuanya. Dialah penyebab masalah semua ini.

"Maafkan aku wahai istri dan anak-anakku, maafkan aku yang belum bisa menjadi kepala rumah tangga baik dan bertanggung jawab".

(Oleh Difan)

NOTE: Cerita ini fiktif, semua nama yang ada dalam cerita ini hanya rekaan semata. Bila ada kesamaan jalan cerita dan tokoh, itu hanya kebetulan saja.

Post a Comment