Pernikahan mereka melalui ikhtiar perjodohan. Adalah ibunya Iwan dan Ibunya Uni merupakan dua sahabat karib. Awalnya ibunya Uni yang berencana menjodohkan anaknya. Dia suka sama Iwan, katanya anaknya baik, sopan, ganteng lagi dan sudah mapan dalam pekerjaannya. Cocok bersanding dengan Uni yang juga berparas cantik (tentu saja hanya ibunya Uni yang tahu).
Gayung pun bersambut, orang tua Iwan menerimanya, megetahui Khairunissa itu ternyata gadis yang shalehah serta berperangai lembut.
Uni sendiri menolak dijodohkan dengan pasangan yang bukan sekufu (sepemahaman) dengannya.
Menurut Uni, pasangan yang sekufu itu perlu, agar nanti mereka bisa saling membantu membimbing keluarga dalam satu keyakinan menuju kehidupan yang diridhai Allah SWT.
"Ibu, Uni ga bisa begitu aja menerima Iwan, Uni harus tahu dulu dia bagaimana?
"Iwan anaknya baik kok Un, penurut, sayang sama orang tua?" Jawab Ibu.
"Bu, orang baik itu banyak, tapi baik yang bagaimana. Apakah Iwan baik agamanya? Apakah dia baik shalatnya, apakah dia sering ke Masjid?"
Uni termasuk anak yang berbakti kepada orang tua, apalagi ayahnya sudah tak ada. Tentu dia tak sampai hati menolak keinginan ibu yang sangat disayanginya tersebut.
Memang secara zhahir, Uni dengan Iwan seperti pasangan yang tidak matching, baik dalam segi penampilan mau pun keyakinan. Uni berbusana syar'i dengan gamis dan jilbab panjang serta memakai cadar, kerjaannya ya mengaji di majlis taklim, baca kitab, baca Qur'an. Sedangkan Iwan adalah pria milenial yang cuek, pakai kaos, kemeja, celana jins atau keper, kerjaannya jalan-jalan, ngeblog, main game, nonton drama Korea, ngumpul sama teman.
Uni bimbang, menolak perjodohan atau menerimanya. Dia tidak ingin Ibunya kecewa. Disisi lain, usia dirinya pun sudah tak bisa dibilang muda lagi.
Tapi kemudian akhirnya dia menerima juga perjodohan tersebut setelah melakukan Istikharah dengan Rabbnya. Dengan beberapa pertimbangan:
- Tidak ada pacaran, hanya Ta'aruf.
- Saat walimahan (acara pesta nikah), tidak pakai prosesi adat.
- Tidak ada panggung nyanyian.
- Dan para tamu dipisah lelaki dan wanita.
Eeeiit ntar dulu, selidik punya selidik, bukan cuma Uni saja yang keberatan dengan perjodohan ini. Iwan pun demikian juga menolaknya. Ya alasannya karena Uni itu terlalu agamis untuknya. Iwan itu pengen isteri yang sederhana saja, dia belum siap hidup dengan aturan syar'i bersama Uni.
Namun pada akhirnya Iwan dan Uni berdamai dengan hatinya mengingat Uni berparas cantik dan Iwan juga ganteng orangnya. Hehe.. 😀
Sore itu Uni sedang sibuk beraktifas di rumah, menanak nasi, memanaskan lauk dan sayur di dapur. Tidak lupa menggosok gigi, eh maksudnya tidak lupa menyapu lantai, mencuci piring dan gelas kotor.
Tak lama terdengar suara mobil memasuki garasi. Suaminya sudah pulang dari kantor. Uni bergegas menyambut suaminya dengan memberikan senyum manisnya. Tentu saja dihadapan suami, Uni tidak memakai cadarnya?
"Abang sudah pulang?"
"Ho-oh!" Sahut Iwan cuek
Mau Uni buatkan air panas untuk mandi bang?"
"Ga usah?"
Iwan mengambil handuk langsung ngeloyor ke kamar mandi.
Sehabis mandi, kopi panas sudah tersedia di meja teras depan beserta penganan gorengan. Alhamdulillah Iwan tidak merokok. Ini salah satu kebaikan buat Uni.
Karena perut sudah lapar, Iwan pun menyikat habis kopi dan gorengan. "Lapar Wan??" 😀
Uni datang menemani suaminya.
Abang langsung mau makan? Uni buatkan ya" Tanya Uni.
"Ga usah!"
Iwan memang tipe pria yang tak banyak omong. Uni berusaha membuka percakapan, tapi sepertinya Iwan tak menerima perbincangan. Akhirnya mereka diam-diaman.
Malamnya Iwan menghabiskan waktu dengan membuat artikel blog di laptopnya. Setelah itu langsung tidur. Tak diperdulikannya Uni yang berusaha menemaninya.
Ibu Iwan bukannya tak memperhatikan segala aktifitas mereka. Dia tahu Iwan sering tak mengacuhkan Uni.
"Sudah makan kamu Un? tanya ibu suatu siang.
"Sudah bu, sudah makan tadi? Ibu belum makan?
"Ibu sudah makan. Bagaimana hari-harimu dengan Iwan?" tanya ibu lagi.
"Baik-baik aja bu?"
"Maafkan sikap Iwan ya nak jika ada sikapnya yang tak berkenan. Dia sebenarnya anak baik, ga tahu kenapa kok dia tiba-tiba begini? Dia dulu rajin ibadahnya" kata Ibu Iwan penjang lebar.
"Iya ga apa-apa bu, Uni maklum"
Ibu memeluk Uni. Dia sangat menyayangi menantunya yang perangainya lemah lembut itu.
Suara adzan Shubuh berkumandang bersahut-sahutan dari berbagai penjuru. Adzan memanggil para hamba Allah yang beriman untuk untuk segera menunaikan Shalat di Shubuh yang dingin dan meninabobokan ini.
Seorang insan masih terlena di peraduannya ditemani guling dan selimut hangat.
"Bang, bangun bang, Ayo Shalat, sudah adzan Shubuh?" Uni membangunkan suaminya.
"Grook..groook, eeehmm!" Iwan malah ngorok sampai keluar ilernya. 😂
Karena Iwan tak kunjung bangun akhirnya Uni Shalat duluan.
Selesai Shalat, Uni membaca Al-Qur'an, suaranya terdengar merdu tapi tetap saja tak membangunkan Iwan yang telinganya sedang dikencingi Syetan.
"Bang, Bangung dong! Ayo Shalat Shubuh?" Uni membangunkan suaminya sekali lagi.
"Eeeehh...!!" Iwan sang suami malah membalikkan badan dan memeluk gulingnya lebih erat.
Shubuh memang paling nikmat untuk tidur. Kata ustadz, senikmat-nikmat tidur itu saat adzan Shubuh. Hanya keimananlah yang bisa membuat orang terjaga saat itu.
"Bang, ayolah bangun, sudah hampir selesai orang Shubuh di Masjid. Abang tak Shalat?" Tanya Uni ketiga kalinya.
Uni terus berusaha membangunkan sang suami, dari mengusap lembut rambut suami, memercikkan air ke muka sang suami, mengguncang-guncang badan, mendorong paksa sang suami hingga jatuh dari tempat tidur dan terguling sampai ke dapur. "Gedubrak, Grumpyang..!!" Wkwkwk... 😀
"Aduuuh... apaah seeh, ganggu orang aja, berisik tahu?" Iwan setengah berteriak kesal tapi tidak membentak.
"Uda hampir setengah enam bang? Sudah hampir habis waktu Shubuh?" Uni menjelaskan dengan lembut kepada sang suami.
"Masa bodoh ah, kalau mau Shalat, Shalat aja sana sendiri, ganggu orang tidur aja?" Iwan bergegas kembali ke tempat tidur meneruskan tidur nikmatnya yang tadi terganggu.
Uni cuma terdiam, sudah berapa kali kejadian seperti ini. Ada raut kesedihan di wajahnya. Seharusnya suamiku yang membangunkanku untuk Shalat Shubuh dan dia yang menjadi Imam untukku. Tapi kenapa yang kudapat pria seperti ini? Uni kemudian beristighfar.
Ternyata ga gampang hidup berdampingan dengan pasangan yang tidak sepemahaman. Kebiasaan dan keyakinan yang berbeda membuat satu ke Timur, satunya ke Barat. Yang satu bilang haram, yang satu boleh. Yang satu taat dengan agamanya, yang satu santai dengan dunianya.
Untuk menyadarkan pasangan kita yang awam agama memang tidak mudah, dan bisa saja tidak berhasil. Makanya banyak orang-orang syar'i yang tidak mau menjalani hidup dengan pasangan yang berbeda. Terlalu besar resikonya.
Hal ini sudah diprediksi Uni jauh sebelumnya. Hanya karena menyayangi ibunya dan menimbang keluarga Iwan bukanlah keluarga yang jauh dari agama, hanya saja belum mendapatkan hidayah ilmu. Uni berharap bisa membimbing Iwan untuk hijrah ke jalan yang syar'i. Dia menganggap pernikahan ini adalah lahan dakwah untuk mengajak orang ke jalan Syariat.
Siang itu Uni tampak sibuk membenahi barang-barangnya yang baru tiba. Segala buku-buku, jilbab dan baju-baju gamisnya dipack dalam kardus dan koper. Uni sekarang tinggal di rumah Iwan, jadi banyak barang-barangnya yang masih tertinggal di rumah.
Nafasnya terengah-engah membawa kardus-kardus berisi buku-buku miliknya. Sementara Iwan hanya duduk santai memencat-mencet HP Androidnya. Iwan lagi ga mud. Hatinya masih belum bisa menerima Uni.
"Ah sebodolah, lagi malas gue" batin Iwan dalam hati.
Uni sedang ngos-ngosan membawa sebuah kardus berisi buku-buku. Tangannya sudah tak kuat lagi, kardus di tangannya akan terlepas jatuh kebawah berhamburan.
Tiba-tiba sebuah tangan menahan tubuh Uni dan menahan kardus. Uni dan buku-bukunya pun selamat dari kejatuhan.
Uni menoleh, siapa gerangan yang menolong?
Ternyata Iwan?
Tapi posisi Iwan dan Uni malah jadi menempel, mereka jadi berdekatan. Dan mata mereka pun beradu pandang. Ada sinaran yang tak terungkap 😀
"Bletak..!!!" Sebuah buku tebal melayang dan mendarat tepat di kepala Iwan.
"Aduuuh, sakit tahu, kenapa saya dilempar buku?" Rintih Iwan.
"Kamu itu kebanyakan nonton drama Korea ya?" Ibu Iwan muncul tiba-tiba
Ternyata Ibu Iwan juga suka nonton drama Korea, buktinya dia tahu adegan kayak tadi itu? Ada-ada aja dah, hehe.. 😀
Tapi rasanya Uni dan Iwan seperti menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Sarapan sendiri, makan pun sendiri, ke kamar mandi sendiri (masa mau berdua), cuma tidur aja yang ga bisa sendiri, kan udah nikah?
Mereka memang tinggal satu atap, satu rumah, satu kamar, tapi hampir tidak pernah betegur sapa. Sebenarnya Uni sudah sering menyapa dan menegur Iwan, tapi Iwan bersikap dingin, tidak hangat. Mungkin karena Iwan sering menghidupkan AC dikamarnya.
Tapi ada yang menjadi tanda tanya di hati Uni. Iwan kelihatannya seperti tak suka kepadanya tapi sikapnya tak seperti itu. Aneh rasanya, bersikap angkuh dan dingin tapi perhatian. Ada sesuatu yang yang belum dia ketahui dari Iwan.
Seperti yang satu ini.
Siang itu Uni hendak pergi ke pengajian. Tapi dia tidak punya tumpangan kenderaan. Naik angkot ga mungkin, karena berdesak-desakan bercampur baur dengan lain jenis. Dulu dia diantar jemput oleh adik sepupunya yang wanita. Sekarang Uni sudah bersuami, masa diantar jemput sepupu juga? Satu-satunya jalan minta diantar oleh Iwan. Tapi ga mungkin rasanya. Apa dia mau?
"Kamu hari ini pergi ke pengajian kan Un?" Tanya ibu Iwan.
"Iya Bu?"
"Sama siapa perginya?"
"Ga tahu bu, ga ada yang mengantar?" Sahut Uni.
"Minta antar suamimu Un?"
"Ga usah bu, takut ngerepotin bang Iwan?" Jawab Uni.
"Ga pa pa, Iwan kan suamimu. Ya harusnya dia yang antar jemput kamu?"
"Iwan mana?"
"Iwaaaaaaann...???!!?!" Teriak ibu.
"Iya bu?" Sahut Iwan dari balik ruang tamu.
"Iwaaaaan?!" teriak ibu lagi.
"Iya ibu, ada apa, kok teriak-teriak gitu?"
"Kamu tu dipanggil bukannya kemari. Antar istrimu ke pengajian. Hari ini kamu kan libur?"
"Aduuh malasnya, Iwan capek bu? Kenapa ga naik angkot aja?" tanya Iwan.
"Jangan gitu dong Wan, kamu ga kasihan lihat istri kamu pergi sendirian naik angkot, sementara kamu punya mobil untuk bisa mengantar jemput dia? Apa kamu tega juga kalau lihat ibu sendirian pergi naik angkot?" Tanya ibunya.
Iwan terdiam. Dia ga nyangka dapat nasehat seperti itu dari ibunya.
"Baiklah bu, Iwan akan antar Uni sekarang?"
Uni ga nyangka bisa juga bepergian bersama suaminya. Tapi dia merasa ga enak karena itu perintah ibu bukan kemauan Iwan. Sebodolah, yang penting bersama suami, hihi...
"Nanti pulang jam berapa?" Tanya Iwan.
"Ga usah bang, Uni minta tolong sama sepupu aja nanti?"
"Ya udah kalau gitu?" Sahut Iwan dengan cuek dan bebeknya.
"Kok saya ga dibujuk sih, tega banget?" Batin Uni dalam hati.
Selesai kajian, Uni bermaksud memesan Grab mobil, mengingat sepupunya tidak bisa menjemputnya. Teman-temannya juga tidak punya kenderaan, masing-masing sudah ada yang menjemput.
Saat Uni melangkah keluar menuju halaman Masjid, matanya melihat mobil Pajero Sport hitam milik Iwan sedang terparkir dibawah pohon rindang. Ternyata Iwan masih menunggu Uni. Surprise sekali. Suami yang setia??
Co cuit.. Wiit..wiiit... 😀
Minggu depannya, Iwan bikin surprise lagi, tanpa disuruh, dia sudah stand by untuk mengantar Uni ke pengajian. Ada kemajuan neh..??
Benar kan? Itu yang selalu Uni rasakan. Iwan itu sepertinya baik terhadapnya. Tapi dia seperti tak ingin kebaikannya itu diperhatikan oleh Uni.
Sebelumnya beberapa kali Uni perhatikan Iwan sering membantu pekerjaan rumahnya diam-diam, seperti mengangkat pakaian kering dari jemuran, mencuci piring dan gelas kotor, menghabiskan makanan yang dimasak Uni, dan lainnya.
Uni termenung, dia berdoa dalam hati, "Ya Allah, berilah hidayah kepada suamiku. Pada dasarnya dia orang yang baik. Condongkanlah hatinya kepada agama?"
Iwan baru saja selesai mandi. Badan yang terasa letih dan penat memang nikmatnya dibawa mandi, terasa segar kembali. Tiba-tiba dia tertegun, sayup-sayup terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Suara itu sangat dirindukannya. Iwan bergegas keluar kamar mencari sumber suara. Makin dekat ke ruangan shalat suara itu semakin jelas.
Ternyata Uni yang melantunkan Tilawah Qur'an tersebut.
Indah sekali, surah yang dibaca surah Al-Waqiah dengan langgam Nahawand. Mirip-mirip suaranya Qoriah Yosi Novita Sari. Tartilnya sempurna.
Iwan suka dengan Tilawah Qur'an yang dilantunkan Uni. Diam-diam dia mendengarkan dengan khusyu' sampai ga sadar air matanya mengalir.
Entah kenapa dia selalu menunggu-nunggu saat ba'da Maghrib dan Shubuh, saat itulah Uni melantunkan bacaan Qur'annya. Hanya saja pas Shubuh Iwan tak sempat mendengarkan karena masih terlena diperaduannya.
Pernah saat Shubuh, Iwan memaksakan untuk bangun supaya bisa mendengarkan Uni membaca Al-Qur'an.
Saat itu suasana masih gelap. Iwan mengendap-ngendap menuju ruang Shalat agar bisa mendengar lebih jelas lantunan Qur'an Uni. Tapi tiba-tiba saat melangkah lebih maju, kepalanya membentur sesuatu.
"Tuk!"
Apan tuh?
"Ibu..??? sahut Iwan.
"Hush, jangan berisik, nanti ketahuan Uni?" bisik ibunya.
"Ayah juga disini?" tanya Iwan.
"Iya Wan, ayah suka bacaan Qur'annya Uni.
"Lho kalian juga disini?" tanya Iwan lagi
Ternyata adik dan kakak-kakak Iwan juga sudah ngumpul disitu.
Iwan cuma melongo. Hihi...
Ringtone dari HP Iwan berbunyi. Ada pesan masuk dari WA-nya.
Ternyata dari Irsyad, teman SMAnya dulu.
"Woy ketua, jadi kan datang ke reunian kita? Gue uda belikan undangan buat loe, tapi ntar loe ganti duitnya ya?"
"Loe main beli aja? gue sebenarnya malas mau datang kesana. Emang siapa aja yang datang?" Tanya Iwan.
"Hampir semua, ada Felix, Ibnu, Alex, Raya, Tari, Tere, Dian, Putra, Royadi, banyak lah lagi yang lainnya? Uda loe datang aja, ngapain sih ngeram mulu di rumah?"
"Ayam kali ngerem. Gue sehari-hari tu kerja. Saat libur, ya hari istirahat gue dong?
"Datang dong Wan, biar kita ngumpul komplit semua disana. Tadi Tari udah bilang, jangan ada dusta diantara kita... eh maksudnya jangan ada diantara kita yang ga datang?"
"Ya sudahlah, insyaAllah nanti gue datang?"
"Kok insyaAllah, loe bakal ga datang ya? Gue uda keluar duit beliin loe undangan neh?"
"Loe pikir setiap ngucapin insyaAllah itu berarti ga datang, emang insyaAllah apa artinya? Kalimat InsyaAllah harus kita sebutkan, karena kita ga tahu apa yang akan terjadi nanti, entah hujan, entah mendadak gue punya urusan, yang menyebabkan gue berhalangan datang. Makanya kita istilahnya minta izin sama Allah dengan mengucapkan insyaAllah. Getttoooo..???" Iwan menerangkan panjang lebar.
"Oooo, gitu ya, kirain? Wah dalam juga ilmu agama loe ya? Uda bisa jadi ustadz loe Wan?"
"Makanya sering-sering gabung di pengajian biar ga kudet? Duit mulu yang dicari. Uda, insyaAllah gue datang nanti?"
"Siyaap Boss, iya deh?"
Sebenarnya Iwan bermaksud pergi sendirian saja. Dia ga mau mengajak istrinya, rasanya repot bawa-bawa istri segala, lagian juga Uni belum tentu mau? Tapi mengingat dia sudah bukan lajang lagi, sudah punya istri. Nanti apa kata teman-temannya, kok istrinya ga dibawa? Jadi ya dia mengajak istrinya juga.
"Kamu ada acara ga Minggu Ini, saya mau ajak kamu ke acara reunian sekolah? Kamu mau ga? Kamu pasti ada pengajian kan?" Tanya Iwan kepada Uni.
"Jam berapa acaranya bang?"
"Dari pagi sampai siang sebelum Zhuhur"
Uni ga mau mengecewakan suaminya, mengingat selama ini baik kepadanya.
"InsyaAllah bisa bang? Kan pengajiannya abis Zhuhur?" Jawab Uni.
"Sip kalo gitu?"
Acara reunian diadakan di rumah Tari, mengingat rumah Tari yang besar dan halamannya yang luas. Jadi ga perlu mengeluatkan dana lagi untuk sewa tempat.
Di rumah Tari sudah banyak tamu yang datang. Iwan dan Uni baru saja sampai.
Kontras sekali pemandangan saat itu. Iwan yang memakai pakaian santai kekinian: kaos putih dan celana jins hitam ketat dan memakai topi. Disampingnya Uni memakai jilbab coklat lebar, panjang dan gamis hitam serta cadar menutupi wajahnya. Iwan terlihat seperti pemuda masa kini yang milenial, sedangkan Uni terlihat anggun sebagai lambang akhwat (wanita) yang islami.
Mereka jadi pusat perhatian orang-orang.
"Hey Wan, sini? Datang juga ente ya?" Teriak Irsyad teman akrab sekolahnya dulu.
"Wah ini kamu ya Wan? Makin tinggi dan ganteng aja? Itu orang rumahnya?" Tanya Tari.
"Woooi Wan, apa kabarnya? Uda lama sekali ga ketemuan kita?" Sahut teman yang lainnya.
Iwan dikerubutin teman-temannya, mereka saling bersalaman dan berpelukan (sesama cowo maksudnya). Maklumlah uda lama ga ketemuan dengan teman-teman sekolahan. Dan ini adalah reunian pertama mereka.
Uni cuma bengong, tapi dia juga diperkenalkan oleh Iwan dengan teman-temannya. Tak lupa salaman dan cipika-cipiki (sesama cewe coy). Saat teman cowo mau nyalamin Uni, Uni hanya menyatukan kedua tangannya (memberi salam dari kejauhan, tidak menyentuh tangan). Temannya Iwan cuma melongo. Kasian de loo? 😀
Mereka bercerita dan bercanda membangkitkan kenangan lama. Uni hanya diam, agak menjauh sedikit dari kerumunan.
Tak lama kemudian Iwan menggandemg tangan Uni untuk mencari tempat. Saat melewati sekerumunan anak-anak alumni. Tiba-tiba ada yang nyeletuk
"Wih teroris lewat. Awas bom?"
Sontak Iwan menghentikan langkahnya. Ia menoleh kepada sekerumunan tadi. Yang nyeletuk tadi membalas dengan senyuman sambil merokok.
Iwan menghampiri orang tersebut.
"Apa lo bilang tadi?" Tanya Iwan
"Ga pa-pa bro, cuma bercanda? Itu istri loe ya?"
"Gue tanya sekali lagi, loe bilang apa tadi sama istri gue?" Tanya Iwan lagi sambil meninggikan suaranya. Orang-orang sampai melihat.
"Santai bro, gitu aja baper, slow-slow sikit, nih ada rokok?"
"Buuuuk..!!!" Bogem mentah mendarat telak di muka yang nyeletuk tadi. Iwan sudah habis kesabarannya.
"Bangsat, istri loe memang teroris, mau apa loe! Dasar kadal gurun?" Balas si penyeletuk tadi ga terima.
"Baaak, buuuk...!!! Kali ini bogem dan tendangan yang datang.
Para tamu histeris. Acara pun jadi kacau balau.
"Ada apa ini, ada apa, kenapa Wan, jangan..?" Teman-teman cewe pada panik.
"Sudah bang, sudah, ga usah diladenin?" Pinta Uni yang juga panik.
Iwan yang sudah emosi abis, menghampiri si penyeletuk dam mencengkram bajunya.
"Bangsat loe ya, minta maap sama istri gue? Asal loe tahu ya, orang-orang yang loe tuduh teroris itu adalah orang yang dekat sama Tuhannya, akhlaknya lemah lembut, ga kayak kelakuan loe! Loe tu yang teroris! Minta maap loe bangsat?"
"Ga sudi gue dasar Kadrun!"
"Cebong bangsat!"
"Plak, bak, buk, ketepak, ketepuk..!!"
"Awww?" (apaah tuh)
"Sudah, sudah.. hentikan, hentikan Wan, Roy?" Teman-teman yang lelaki turun tangan memisahkan.
"Apa-apan ini kok jadi berantem kayak gini?" Felix ikut menengahi.
"Si Cebong Bangsat ini cari gara-gara?" Sahut Iwan.
"Loe ga bisa berkawan ya? Sumbu loe terlalu pendek?" Balas Roy.
Rupanya biang kerok si penyeletuk tadi bernama Roy. Teman sekolah tapi berbeda kelas.
Amarah Iwan naik lagi, dia meronta melepasakan pegangan teman-temannya. Tangannya sudah gatal ingin menonjok lagi muka si Roy.
"Lepasin gue?!"
"Sudah Wan, jangan diterusin!" Tangannya dipegang kuat teman-temannya
"Gue pengen dia minta maaf sama istri gue, atas penghinaannya tadi, sekarang juga?" Tegas Iwan.
"Udah Roy, loe minta maaf sama istrinya?" Kata ibnu.
"Muka gue ditonjok, malas gue minta maaf?"
"Loe yang mulai duluan bangsat Cebong?" Maki Iwan dengan geramnya.
"Sudaaaah....!!!!"
"Wan, kita maklumin aja si Roy itu, anaknya memang kayak gitu, mungkin dia awalnya cuma bercanda aja? Ujar Alex.
"Iya Wan, sudahlah, jangan berantem lagi, kita disini kan mau reunian, bukan mau ribut?" Felix ikut menimpali.
"Yang cari ribut duluan siapa? Dia yang menghina istri gue. Kenapa gue yang kalian nasehatin, si bangsat itu yang harus kalian urusin! Kalau dia ga mau minta maaf, gue pergi dari sini. Urusan dia diluaran entar!" Ancam Iwan.
"Sudah bang, Uni ga pa pa, orang kayak gitu ga usah diladenin?"
"Kita pergi dari sini? Acara macam apa ini" sahut Iwan sambil menarik tangan Uni pergi dari tempat itu.
"Wan, jangan gitu dong, sabarlah dulu, Wan, mau kemana loe? Ujar Irsyad.
Di mobil dalam perjalanan pulang, Iwan banyak diam, amarahnya belum reda.
Uni memegang lembut tangan suaminya.
"Bang Uni ga apa-apa? Sabar ya bang? Orang kayak gitu ga ngaruh buat kita, dia ga selevel sama kita bang? biar dia bilang Uni teroris tetap ga ngaruh buat Uni. Uni ga seperti itu kan? Ucapan buruk dia akan kembali kepada dia sendiri". Uni menenangkan suaminya.
"Tetap ga bisa! Dia sudah keterlaluan. Dia bukan cuma menghina kamu, tapi juga menghina Islam. Orang munafik itu!"
Uni diam saja, dia tahu orang temperamen seperti Iwan jangan dibantah kalau sedang marah, bisa makin naik amarahnya. Biar saja dulu jika amarahnya sudah reda.
Uni melihat wajah suaminya. Dia ga nyangka sampai berkelahi begitu demi membela istrinya. Dia marah karena aku dihina. Berarti dia perhatian kepadaku.
Uni tersenyum manis dibalik cadar panjangnya. Hatinya serasa sejuk.
Iwan semakin hari semakin banyak perubahan. Dia bukan saja ikut mengantar jemput istrinya tapi juga ikut menghadiri pengajian.
Iwan pun sekarang memelihara jenggotnya.
Hari demi hari berlalu, minggu, berganti bulan. Tanpa disadari Uni, bertahap cara berpakaian Iwan pun berubah. Sebelumnya memakai celana jins ketat, kini sudah mengenakan celana diatas mata kaki dan mengenakan lobe, kalau ke Masjid sering mengenakan gamis model Pakistan. Kalau pakaian bekerja dia tetap memakai kemeja dan celana keper, hanya saja celananya sudah digunting sebatas diatas mata kaki.
Uni sampai takjub, pangling dia.
"Masya Allah, suamiku kah ini? Abang mengenakan pakaian sunnah sekarang?" tanya Uni ga percaya rasanya.
Belakangan Uni baru tahu, ternyata Iwan itu bukan seorang yang awam sama sekali. Ternyata Aqidahnya juga Salaf, yang ia dapat dari Muhammadiyah. Dia tertarik dengan Aqidah Salaf sudah lama.
"Ini rupanya selama ini dari diri Iwan yang tak ku ketahui?" batin Uni didalam hatinya.
Sebuah Mobil Pajero hitam memasuki halaman rumah yang sederhana. Dua pasang kaki tampak turun dari pintu mobil. Satu memakai kaus kaki dan sendal tali yang tertutup gamis panjang, yang satunya memakai celana cingkrang.
Sepasang insan syar'i melangkah masuk ke teras rumah.
"Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabaraktuh?" Satu suara berucap.
Rumah tampak sepi tapi tak lama kemudian ada sahutan dari dalam.
"Wa'alaykumussalam Warahmatullahi Wabakatuh"
"Ibuuuuu, Uni datang?" Uni berlari menyambut. Dia memeluk Ibunya dan bersimpuh.
"Ibu ternyata ibu benar, Iwan itu orang yang baik".
"Ibu, Alhamdulillah Uni sekarang mendapatkan pasangan yang sekufu. Terima kasih atas pilihan ibu?"
Ibu hanya tersenyum mengucap syukur sembari tangannya mengelus jilbab panjang yang menutupi rambut Putrinya.
Dan sang surya pun tampak ramah menyinari teduh bumi insan yang selalu mengharapkan ridha dan ampunanNya.
End..
(Oleh Difan. Cerita fiksi acakadul ini diselesaikan pada 16 November 2020)
Post a Comment