January 30, 2015 by Shabra Syatila
“Cukuplah berkawan dengan orang shalih yang hidupnya pas-pasan karena itu biasa, perbanyak berkawan dengan orang shalih yang kaya raya, karena itu luar biasa.”
Kalimat diatas merupakan bagian dari keluhan seorang teman yang merasa jengah dengan para sahabatnya karena dirinya dianggap tidak memiliki visi dan misi berorientasi harta dan kekayaan.
“Saya ditertawakan pakcik, hanya karena saya tidak punya keinginan punya mobil di tahun sekian, rumah tahun sekian, dan banyak orientasi lainnya. Apakah benar seorang Muslim harus kaya sampai yang sederhana atau miskin menjadi seolah biasa saja?”
Saya malah balik tertawa kecut ketika mendapatkan pertanyaan tersebut. Bukan karena pertanyaan dari shahabat tersebut tapi karena suatu saat dimasa silam lalu saya hampir-hampir pernah percaya dengan pendapat diatas. Naudzubillah.. Betapa rapuh jiwa manusia bila tidak Allah siram dengan ilmu dan hidayat.Terkisah, puluhan tahun lalu saya percaya bahwa orang Muslim wajib kaya. Karena dengan kekayaan kita dapat berbuat banyak.
“Dengan adanya harta kita bisa menolong umat, bisa bersedekah, bisa menolong agama, dan bla..bla..bla..,” ini adalah dalil pembenaran dari para dai yang ‘mewajibkan’ kaum Muslimin harus kaya.
Namun semua perkataan diatas itu terbantahkan. Terbantahkan oleh dalil-dalil hadits dan sirah Rasulullah bahkan tarikh para shahabat.
Alhamdulillah, Allah telah memberikan saya kesempatan menemukan beberapa bukti bahwa antara seorang lelaki shalih yang sederhana dan seorang lelaki shalih yang kaya raya sejatinya perbedaannya hanya di beberapa tempat saja. Bahkan di beberapa kondisi malah menjadi miskin lebih berkah daripada menjadi kaya. Perhatikan saja hadits dari Rasulullah dibawah ini.
Dari Anas bin Malik meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikan aku dalam keadaan miskin. Dan kumpulkan aku dalam kelompok orang-orang miskin pada hari kiamat.”
Aisyah Radhiyallahu Anha bertanya, “Kenapa begitu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya mereka masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan selisih waktu 40 tahun akhirat.”
“Hai Aisyah, janganlah engkau mengusir orang-orang miskin kendati hanya dengan satu kurma.”
“Hai Aisyah, cintailah orang-orang miskin dan sanak kerabat mereka, karena sesungguhnya Allah mendekatkan dirimu pada hari kiamat.”
Penjelasan hadits di atas sangat sederhana. Bahwa seseorang yang sabar dalam kemiskinannya, tidak kemudian menyalahkan Allah karena kefakirannya, tidak melakukan maksiat karena kemiskinannya, maka Allah permudah masuk surga. Dan di hadits di atas juga kita di perintahkan oleh Rasul agar janganlah sesekali kita mengusir orang miskin apalagi melecehkan mereka karena kekurangan mereka akan hartanya. Sungguh Allah telah menetapkan rizki manusia berbeda-beda berdasarkan kehendak Allah.
Maka atas dasar apa kita menganggap yang kaya lebih istimewa daripada yang miskin?
“Oh, tapi yang kaya lebih banyak bersedekah daripada yang miskin!”
Cermati hadits dibawah ini yang diriwayatkan oleh An Nasa’i, dari Abu Hurairah Radhi Allahu Anhu:
“Ketahuilah! Uang satu dirham mengungguli seratus dirham!” ucap Rasulullah.
Para shahabat bertanya, “Bagaimana mungkin uang satu dirham bisa mengungguli uang seratus dirham?”
Beliau bersabda, “Seseorang yang mempunyai uang dua dirham, ia mengambil satu dirham dari hartanya tersebut lalu bersedekah, dengan satu dirham tersebut dia mengungguli orang lain yang memiliki uang yang banyak sekali dan ia mengambil seratus dirham lalu bersedekah dari hartanya itu.”
Bacalah hadits ini baik-baik. Soal sedekah bukan soal banyak atau sedikit. Tapi soal seberapa mampu kita bersedekah walau dalam kaya maupun dalam keadaan miskin sekalipun. Bahkan bilapun sedekah itu hanya bernilai 10 ribu rupiah, boleh jadi disisi Allah nilainya lebih besar dibandingkan dengan 10 juta bila diberikan dengan dasar mengharap ridha Allah.
Dari sejarah sirah lainnya kita bisa mengambil hikmah dari kejadian yang di alami orang yang mulia imam Ali bin Abi Thalib. Dari Al-
Baihaqi menyebutkan hadits dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu berkata: Tiga orang menghadap Rasulullah,
Seseorang dari ketiganya berkata, “Aku memiliki seratus ons kurma dan aku mensedekahkan 10 ons dari kurma tersebut.”
Orang kedua dari mereka berkata “Aku memiliki seratus dinar dan kemudian aku bersedekah 10 dinar darinya.”
Dan orang ketiga berkata “ Aku mempunyai 10 dinar dan kemudian aku bersedekah dengan satu dinar daripadanya.”
Rasulullah bersabda, “Pahala kalian sama, semua dari kalian bersedekah dengan sepersepuluh hartanya.”
Di kesempatan lain Rasulullah memberikan pengajaran yang sangat mulia soal miskin dan kaya. Disebutkan dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah Radhiyllahu Anhu yang bertanya:
“Wahai Rasulullah, sedekah manakah yang paling utama?”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sedekah orang miskin dan mulailah dengan orang yang engkau tanggung/nafkahi”
Masih banyak sekali dalil serupa yang membuktikan bahwa seorang muslim yang shalih sederhana tidaklah lebih buruk dibandingkan dengan seorang muslimin yang kaya raya.
Yang sungguh-sungguh harus di jauhi adalah asumsi seorang muslim yang menganggap diri kekayaan membuat dirinya lebih istimewa daripada seorang muslim yang sederhana atau miskin. Perhatikan atsar dibawah ini.
Dari Al Hasan yang berkata, seseorang berkata kepada Ustman bin Affan Radhi Allahu Anhu, “Wahai orang kaya, betapa mulianya kalian dimata Allah, kalian pergi dengan membawa membawa kebaikan, kalian bersedekah, kalian memerdekakan budak, kalian pergi haji haji dan berinfak. Sungguh kami iri dengan keadaan kalian tersebut.”
Utsman bin Affan berkata, “Kalian iri kepada kami? Padahal kamilah yang seharusnya iri kepada kalian.”
Utsman melanjutkan, “Demi Allah, pastilah uang satu dirham yang di infaqkan seseorang dengan susah payah itu lebih baik daripada 10 ribu dirham orang kaya.”
Bila Utsman bin Affan saja iri dengan orang miskin di sekelilingnya, kenapa pula ada yang tidak sekaya khalifah ke empat ini merasa pantas melecehkan kaum muslimin yang sederhana atau miskin?
Naudzubillah. Semoga kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang tersesat pemikirannya.
Di akhir note ini, saya ingin men-share sebuah cerita pribadi dari ustadz yang saya kenal dekat. Beliau ustadz muda yang tetap merunduk sikapnya walau tulisannya ditanggapi oleh orang-orang penting selayak Prabowo dan banyak tokoh-tokoh nasional bahkan tidak merasa sungkan di-share orang ulama internasional. Beliau kerap diundang seminar keluar negeri namun tetap saja tersenyum lega ketika diundang di kajian anak rohis yang tentunya tidak membuat kegiatan dengan tiket VIP 1,5 juta gratis makan siang dengan pemateri.
Beliau bercerita didalam perjalanan kami dari lokasi penginapan menuju bandara.
“Akhi… Semua yang Allah berikan kepada saya diluar dari perencanaan saya. Banyak yang dimulai dari doa-doa yang muncul spontan. Pernah sekali saya merasakan betapa sulit menjangkau daerah binaan dakwah kami yang jauh hingga ke pelosok gunung serta bersilaturrahim kepada keluarga besar yang berada diluar kota. Lalu dalam lirih saya berdoa: ‘Ya Allah, kalau saja bila dengan kepemilikan mobil maka hamba akan lebih mudah untuk berdakwah ke tempat-tempat terpelosok serta menyambung silaturrahim, Maka ya Allah, sungguh hamba ridha ya Allah dengan pemberianMu itu.”
“Eh, ndak lama kemudian, Masya Allah, benar-benar Allah menitipkan kami mobil. Padahal, jujur dengan keuangan kami hari itu, memiliki mobil itu adalah opsi yang tidak masuk akal!”
Inilah keberkahan yang seharusnya kita cari. Bukan berusaha kaya dulu baru membantu agama Allah, Tapi bantu saja dahulu agama Allah, maka jangan khawatirkan soal harta, bila sudah sampai waktunya dan Allah sudah tahu kita sanggup mengemban amanah harta, Insya Allah tidak sulit sedikitpun bagi Allah mengkayakan kita. Karena dunia dimata Allah sungguh-sungguh tidak lebih berharga pun dari sayap nyamuk.
Wahai yang mengaku ingin kaya dengan membantu agama Allah dan umat muslim. Allah Maha Tahu hati kita masing-masing dan paling tahu apakah kita sanggup mengemban amanah harta atau tidak. Ketahuilah, Bilapun Allah mengkayakan kita, maka ada pertanggung jawaban ketat dan berat disana. Bilapun Allah menyederhanakan kita bahkan memiskinkan kita, ada keringanan dan kemudahan pula didalamnya.Alangkah bijak bila kita saat ini mulai berhenti mengajari kaum muslimin lainnya doktrin bahwa kaum muslimin wajib kaya.
Maka kita sebagai hamba harus mengedepankan prasangka baik kepada Allah dan juga kepada saudara kita sesama muslimin, baik yang kaya maupun yang sederhana bahkan yang miskin sekalipun.
Wallahualam..
Rahmat Idris
(Sumber: Fimadani.Com)
Post a Comment