Lagi-lagi nemu sebuah tulisan yang nyeleneh, bikin gatal tangan ini untuk mengkritisinya. Dan lagi-lagi seperti biasa, saya tidak akan berkomentar disana. Lebih baik saya menjawabnya dengan menulis artikel di blog ini.
Terima kasih sudah memberi saya inspirasi untuk bahan tulisan.
Nun jauh disana di jagad rimba internet, ada seorang blogger yang menulis tentang profil seorang ustadz yang katanya menjadi suri tauladan untuk semua pemeluk keyakinan. Si blogger sangat kagum dengan track record si ustadz yang begitu berani tampil beda, begitu mencintai perdamaian dan menjunjung tinggi toleransi berbangsa dan beragama.
Dan saya pun penasaran, siapa sih sang ustadz ini?
Setelah tanya kesana kemari maka ketemulah jejak digitalnya, ternyata sang ustadz bernaung di komunitas Islam Liberal. Pantas saja?
Islam Liberal atau yang dulu bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah sebuah komunitas yang menolak teks-teks agama (Al-Quran dan Hadist) yang menurut mereka tidak sesuai dengan hati dan akal mereka.
Contoh keyakinan mereka:
Menganggap semua agama itu sama benarnya. Tidak boleh ada satu agama pun yang merasa keyakinannya paling benar. Keyakinan cacat fitrah manusia ini jelas tidak boleh diyakini dalam ajaran Islam. Karena Islam punya keyakinan sendiri dalam konsep agama mereka. Islam meyakini agamanyalah yang paling benar dengan Allah SWT sebagai Rabb satu-satunya. Jadi keyakinan selain dari Islam tidak akan diterima!
Kenyelenehan kaum JIL ini juga menganggap Al-Qur'an itu sudah tidak relevan lagi dengan kemajuan zaman, hingga perlu direvisi. Padahal Qur'an itu akan terus abadi dan berkesesuaian dengan kehidupan manusia.
Untuk mengetahui lebih jauh apa dan siapa itu JIL, silakan kunjungi link ini dan ini.
Jelas bahwa si ustadz yang diidolakan si penulis tersebut berfaham liberalisme. Suatu keyakinan abu-abu (mencampurkan antara haq dan yang bathil) yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam sebenarnya.
Orang dengan faham kayak gini yang mau disanjung dan dikagumi?
Tapi si ustadz tersebut sudah terlanjur disukai orang banyak. Karena kelembutan, kesantunan dan sifat merangkul si ustadz ini. Maklumlah, orang-orang dinegeri ini gampang terpesona dengan pencitraan / penampakan yang bagus-bagus, yang lemah lembut, yang merakyat, tak perduli walaupun hakekatnya tidak seperti itu.
Ada beberapa point dari tulisan si blogger yang mengusik hati saya, seperti dibawah ini:
- Si blogger mengatakan sang ustadz berani tampil beda: dakwah di diskotik, dakwah tidak melulu pakai jubah seperti kebanyakan.
- Katanya lagi sang ustadz seorang intelektual muda yang menjunjung tinggi kemajemukkan bangsa.
- Jangan menjudge orang dengan sebutan kafir, budha, Arab, Kristen, dan lainnya.
Poin pertama: Anda harus tahu, banyak saudara-saudara kami ummat Islam yang berdakwah di zona tak nyaman, seperti di tempat terpencil, dipelosok desa yang tidak ada fasilitas apa pun, ditempat lokasi kumuh yang rawan kriminal, dan lainnya. Dengan segala keterbatasan; mereka ikhlas berdakwah walau pun tanpa dibayar dan tanpa diekspos media (catat itu). Tapi lihatlah: berapa banyak orang-orang yang masuk Islam atas jerih payah mereka, berapa banyak orang Islam yang diislamkan mereka. Berapa banyak pelacur dan orang-orang jalanan serta para preman yang insyaf kembali ke jalan agama karena dakwah-dakwah mereka?
Dengan anda katakan si ustadz tersebut berani tampil beda, sama saja mengatakan bahwa para pendakwah kami selain sang ustadz tersebut itu monoton, tak ada kontribusi, hanya berdakwah di masjid.
Memakai jubah (gamis), lobe, peci, baju koko, celana cingkrang dalam berdakwah memang kenapa? Ini atribut kami, ini busana sunnah kami! Apa masalah anda? Jangan sampai ada pembalikkan fakta. Yang pake gamis dan lobe dituding intoleran, garis keras, sedangkan yang pake busana biasa dalam berdakwah dipuja setinggi langit sebagai pembeda.
Point kedua: Ini juga sama hakikatnya dengan mengerdilkan kontribusi perjuangan umat Islam (para pendakwah). Kami juga menjunjung tinggi kemajemukan bangsa. Kami ummat Islam yang paling tak ingin Indonesia ini bercerai-berai.
Lihat, siapa yang dulu menyerukan agar Aceh tidak boleh lepas dari NKRI, siapa sekarang yang berteriak agar Papua jangan lepas dari NKRI, siapa..???
Silakan cari bukti jejak digitalnya.
Point ketiga: Kalimat kafir itu memang sudah ada dalam kitab kami Al-Qur'an. Dan itu bukan kata-kata hinaan kepada ummat lain. Contoh seperti pelacur, koruptor, apakah itu kata-kata hinaan..?? Kalian gagal faham..!!
Mengingat si penulis juga bukan seorang Muslim dan tak mengetahui akar masalah umat Islam di Indonesia ini. Dia menganggap konflik yang terjadi di Indonesia hanya konflik belaka, padahal penuh muatan politis.
Dan yang jadi kambing hitamnya adalah Islam dan Muslim yang kena tuduhan intoleran, tidak nasionalisme, tidak pancasilais dan seabreg stigma negatif lainnya.
Harus kalian ketahui bahwa ummat Islam juga cinta perdamaian, sebagai mana yang diajarkan Nabi kami Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wassalam. Sejarah juga membuktikan bahwa Islam itu agama yang cinta damai dan toleran kepada pemeluk agama lain. Bukti: Dimana ada cerita kalau agama mayoritas Muslim menindas non Muslim yamg minoritas, termasuk di negeri ini? Pernahkah unmat mayoritas di negeri ini memerangi minoritas? Tidak ada sejarahnya seperti itu.
Lantas kenapa ada riak-riak seperti sekarang ini? Orang Islam intoleran, radikal, garis keras, teroris, tidak pluralis, dan seabreg stigma negatif lainnya?
Ya karena mayoritas media di negeri ini yang menggorengnya seperti itu. Dan orang awam, pengekor pun mentah-mentah menelan informasi tersebut. Apakah kalian tahu bahwa media dimana pun pasti memberitakan sesuai dengan kebutuhan penguasa?
Hanya karena ummat Muslim bertindak sendiri karena penguasa dirasa tidak merespon aspirasi ummat seperti: Menutup tempat maksiyat (lokalisasi/perjudian dan lainnya), memberantas minuman keras, melarang budaya yang tidak sesuai dengan aqidah Islam, pembiaran penista agama dan lainnya? Maka jadilah ummat ini garis keras, radikal, intoleran dan lainnya. Inilah salah satu pokok pangkal masalahnya!
Jika kalian menstigma kami negatif dengan tuduhan tidak NKRI, tidak pluralis, radikal dan lainnya, maka:
- Bagaimana dengan orang-orang yang katanya toleran dan nusantarais tapi terus menista dan memperolok-olok agama kami, melecehkan Al-Qur'an kami, membakar bendera Tauhid kami?
- Bagaimana dengan saudara-saudara seiman kami saat memakai cadar dan atribut Islam tapi dilecehkan, dituding teroris?
- Bagaimana dengan orang-orang Papua yang begitu radikalnya ingin memberontak terhadap NKRI? Sementara di sisi lain saudara-saudara kami yang berdakwah Khilafah tanpa kekerasan (bahkan menginginkan Indonesia tetap utuh dari Sabang sampai Merauke) sudah dibubarkan organisasinya, dan jamaahnya diintimidasi? Apakah ini bentuk Toleransi?
ADAKAH KOMENTAR KALIAN?
Jika ingin menilai dan memuji orang Islam itu benar atau tidak maka pelajari dulu ajaran Islam itu sendiri. Apakah keyakinannya sesuai dengan Qur'an dan Hadits, apakah dia mengamalkan kitab sucinya apa justru menginjak-injaknya? Jangan hanya terpesona dengan penampilan luar.
Banyak ustadz-ustadz kami yang akhlaknya lemah lembut bukan hanya kepada sesama Muslim tapi juga ke non Muslim. Dan aqidah mereka juga insyaAllah benar yaitu Ahlussunnah wal jamaah. Mereka para ustadz yang lurus ini juga mencintai perdamaian, tak pernah berbuat radikal, tak pernah memprofokasi, seperti Ustadz Muhammad Abduh, Ustadz Firanda, Ustadz Abdurrahman Al-Amiry, Ustadz Raehanul, Ustadz Anshari Taslim, Ustadz Farid Nu'man, AA Gym dan banyak lainnya. Silakan melihat track record mereka? Jangan hanya ustadz nyeleneh yang kalian idolakan?
Yang kalian lihat lemah lembut, santun itu belum tentu benar dalam ajaran agama kami. Yang tegas dan kasar itu juga belum tentu salah dimata agama kami. Semua tergantung bagaimana pemikirannya/aqidahnya.
Pikniklah yang jauh, jangan hanya berkutat di komunitas kalian, agar mata dan wawasan kalian bisa terbuka lebar!
Ummat Islam bukan intoleran, bukan tak majemuk atau nasionalis. Bukti sejarah menuliskan kamilah ummat yang toleran kepada pemeluk lain. Jika kami terlihat oleh kalian tidak toleran, maka itu hanya dalam ranah Aqidah kami. Dalam urusan bermasyarakat kami sangat toleran, tapi tidak dalam hal keyakinan.
Agama bukanlah kombinasi warna jika semakin banyak warna akan indah dipandang. Agama bukan juga musik jika dipadukan dari berbagai macam alat musik akan melahirkan ritme nada yang menghanyutkan. Agama bukan pula gado-gado atau rujak semakin lengkap semakin enak dimakan.
Namun agama seperti halnya lidi semakin sejajar atau sama semakin kuat dan kokoh untuk menyingkirkan sampah. Jika lidi satu pendek dan yang lainnya panjang tentu akan patah akibat tidak sama panjang.
(Quoted: ACEH TANPA JIL)
Semoga bisa bermanfaat.
Post a Comment