(Sumber gambar: m.wartaekonomi.co.id)
Masih juga dalam bahasan seputar wabah Covid-19, semoga yang baca makin bosan dan makin muak lihat blog ini, hehe...
Sudah masuk bulan Ramadhan hari ke 8, suasana Ramadhan di tempatku tak berubah, masih ramai, saat puasa hari pertama yang paling ramai, jalanan dipadati penduduk yang entah mau ngapain, ada yang sekedar jalan-jalan dengan motornya, ada yang antri beli bukaan (takjil).
Harusnya fenomena ini tidak aneh kalau saja ini bukan situasi wabah Covid-19, yang harusnya dibatasi keramaian dan kerumunan orang. Jangankan menjaga jarak dan keramaian, yang memakai masker saja bisa dihitung dengan jari. Benar-benar warga pemberani. Pemberani apa ceroboh?
Begitu juga dengan aktifitas ibadah ke Masjid, masih ramai dengan jamaah. Padahal daerah kami sudah zona kuning, ga tahu sekarang sudah zona apa?
Himbauan MUI agar aktifitas ibadah di rumah sudah tak dianggap oleh orang-orang paling pemberani tersebut. Kalau saya menulis yang beginian seolah saya sinis sama orang yang ibadah ke Masjid, padahal jauh sebelum Corona saya juga beribadah ke Masjid. Hanya karena wabah makanya saya mengikuti anjuran Ulama.
Alasan mereka-mereka yang tetap shalat di Masjid walaupun ada wabah beragam, ada yang bilang,
* "Ini ada upaya dari MUI yang sudah disusupi oleh penguasa agar menjauhkan Masjid dengan ummat Islam!" (baca: konspirasi)
* "Nanti setelah wabah usai, takutnya fatwa ini disalah gunakan oleh orang-orang yang malas, orang-orang yang munafik, dan orang-orang ysng memusuhi Islam!"
* "Bukan kami tak mau ikut fatwa ulama, tapi situasi wabah di tiap daerah kan beda-beda, masa di zona hijau masih diperintahkan untuk shalat di rumah juga?"
"Bla..bla... Macamlah jawaban-jawaban mereka itu!"
Daripada bikin kesal, saya tuangkan saja dalam tulisan. Kalau dibantah langsung, bisa disembur saya.
"Maka dengarkanlah wahai orang-orang yang pemberani...????"
*****************
* Menurut saya, fatwa MUI tersebut tidak ada kaitannya dengan campur tangan pihak-pihak lain yang memusuhi Islam. MUI sendiri terdiri dari para ustadz-ustadz/alim ulama dari berbagai organisasi Islam di Indonesia. Mereka orang-orang yang lurus (insyaAllah), mereka adalah orang-orang yang berilmu.
InsyaAllah mereka mendukung kemaslahatan ummat ini. Dari dulu juga MUI begitu. Kalau pun ada kesalahan itu oknum individu bukan dari lembaga MUI-nya sendiri. Itulah akibat terlalu banyak mengkritik. Makanya saran saya jangan terlalu banyak mengkritik penguasa, jadinya bawaan CURIGA MULU. Hari-hari anda itu dihabiskan dengan mengkritik saja, hingga update status tiada hari tanpa mengkritik.
* Insya Allah setelah wabah usai, tidak ada upaya orang-orang malas, orang munafik dan musuh-musuh Islam memanfaatkan fatwa ulama ini untuk hal yang tidak-tidak. Ummat Islam kembali beraktifitas di Masjid seperti biasanya. Kalau anda tetap mencurigai, mari kita lihat fakta-fakta ini:
1. Orang-orang pemalas, munafik, musuh-musuh Islam dari dulu juga sudah ada. Orang-orang pemalas sebelum wabah juga tetap malas ke masjid, ada atau tidak fatwa, mereka memang tetap malas ke Masjid. Orang-orang munafik/Liberal/musuh-musus Islam (apalagi ini) dari dulu kerjanya juga mengobok-obok dan memusuhi Islam. Jadi orang-orang kayak gini ga usah dipikirkan (karena memang kayak gini tabiatnya).
Yang selama ini shalat di Masjid itu insyaAllah orang yang ikhlas dan cinta kepada agamanya jadi insyaAllah tak usah khawatir setelah wabah mereka malas ke Masjid. Anda tahu kan? Orang-orang yang ikhlas itu beribadah karena Allah, bukan karena faktor di rumah atau Masjidnya. Jadi dalam kondisi apapun mereka tetap khusyuk beribadah kepada Allah.
2. Sudah saya katakan tadi, ummat ini saat jelang-setelah konflik pilpres 2019 banyak yang jadi tukang kritik, sifat kiritsnya terlalu tajam, saking tajamnya jadi overdosis akhirnya mencurigai yang tak patut dicurigai seperti fatwa ulama ini.
Makanya anda yang khawatir fatwa ini nanti disalahgunakan rasanya tak beralasan.
Coba aja lihat, fatwa MUI yang menghimbau agar ummat shalat Jumat di rumah saja sudah ada reaksi penolakan dan kecurigaan, padahal ini untuk kemaslahatan ummat. Apalagi kalau ada upaya terang-terangan sengaja menutup masjid, bisa demo berjuta-juta manusia di negeri ini.
Ummat sekarang sudah pintar kok / tidak awam-awam amat lah, ga bisa dibodoh-bodohin lagi. Jadi ga usah khawatir yang berlebihan lah.
Jika memang fatwa MUI itu disusupi oleh pihak lain untuk menjauhkan ummat dari masjid, kenapa juga seluruh ulama di dunia juga menerapkan hal yang sama kepada warga Muslimnya. Ulama-ulama di dunia menyerukan agar ummat Islam beribadah ke rumah dalam pasca wabah Covid-19 ini. Sama semuanya.
Apa semua ulama-ulama itu disusupi juga? Masih curiga juga? Coba lihat ustadz-ustadz tercinta kita dari mulai AA Gym, Ustadz Abdul Shomad, Habib Rizieq, Ustadz Adi Hidayat, ustadz Das'ad Latif, syaikh Ali Jaber, ustadz Firanda, ustadz Oemar Mita dan lainnya, mereka semua mendukung fatwa ulama. Anda tahu kan siapa ustadz-ustadz yang saya sebutkan diatas?
Mereka itu orang-orang shaleh yang berilmu. Mereka itu bukan ustadz-ustadz selebritis, bukan juga ustadz-ustadz yang suka mentahzir dan memecah belah umat. Mereka selama ini dikenal inshaf/adil dan membela Islam. Kalau memang ada yang salah dalam fatwa ini, tentu mereka tak kan mendukung dan memberikan suara protesnya!
Jadi alasan apalagi yang membuat anda khawatir dan tak mendukung fatwa ulama ini?
* Banyak yang beralasan bahwa zona hijau kuning dijadikan landasan untuk menolak fatwa ulama.
Kata mereka, zona hijau dan kuning masih bisa beribadah ke masjid, jangan larang kami ke masjid.
Baiklah, dalam hal ini saya maklum. MUI juga berfatwa demikian, tapi saya punya pandangan lain. Begini:
- Harus diperhatikan bahwa virus Corona memang sudah masuk ke Indonesia dan ke daerah-daerah lainnya di Nusantara ini, sudah menyebar luas dengan cepat. Jadi bisa dipastikan semua daerah di Nusantara ini tidak ada yang terbebas dari ancaman Corona.
- Cepatnya penularan dan bahaya virus ke manusia dan telah menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit hingga membuat rasa kekhawatiran tinggi.
- Zona hijau tidak menjadi standart aman selama daerah tidak dilockdown atau diisolasi, maka selama ini pula aktifitas warga keluar masuk daerah terus berlangsung. Kita tidak tahu warga dari mana saja yang masuk ke daerah kita. Bisa jadi dari daerah yang zona merah? Selama daerah kita tidak ada upaya sterilisasi maka tidak akan ada jaminan kita aman berkerumun walau dalam zona hijau. Status zona hijau akan cepat berubah menjadi zona merah dalam sekejab jika ada ditemukan satu orang terinfeksi virus dan meninggal.
Jadi tidak berlebihan rasanya jika suatu daerah walaupun masih hijau belum ada kasus tapi sudah ada upaya mencegah penularan dengan menghindari kerumunan (shalat di rumah).
Apa menunggu zona merah baru sadar? Apa harus banyak menunggu korban jiwa?
Bukankah mencegah itu lebih baik dari pada mengobati?
Di Yaman sana, daerahnya masih zona hijau, belum ada kasus Covid-19, tapi pihak Masjid sudah menutup rumah ibadahnya demi mencegah hal yang tidak diinginkan. Lha kita yang sudah sekarat, sudah banyak korban jiwa, sudah jatuh bangun dalam menanggulangi wabah masih anteng aja bilang, MASIH ZONA HIJAU, MASIH ZONA KUNING!
(Status medsos seorang ikhwah yang berada di Yaman)
Mungkin masih ada yang masih penasaran, bilang, "Kan bisa disiasati dengan cuci tangan, dan pakai Alat Pelindung Diri (APD)?
Jawabannya silakan klik link ini ya: DISINI
Maka mau tidak mau solusi yang efektif dalam memutus penularan wabah adalah dengan menjauhi kerumunan. Karena (kalau mau jujur ya), tidak ada upaya pasti dari pemerintah kita dalam melindungi warganya. Kita dibiarkan sendirian bertahan dalam menghadapi pandemi virus ini. Makanya jangan lagi sibuk bertengkar dan gontok-gontokan.
Mari kita bersatu fokus menangani wabah ini, mari kita ikuti fatwa ulama dalam hal kebaikan. Mereka berfatwa dengan ilmu, dengan dalil bukan dengan logika dan perasaan. Kita turuti ulama kita, sudah saatnya tinggalkan dan jangan dengar lagi fatwa-fatwa para ustadz-ustadz dadakan yang bikin rusuh, bikin bingung dan bikin ummat ribut itu.
Mari bersatu supaya virus segera mereda, supaya kita bisa beraktifitas, supaya kita bisa cari makan lagi dengan aman.
(8 Ramadhan 1441 H in my place)
Post a Comment