Oleh : Nike Elsari
Aku nanar, lidahku kelu, menyaksikanmu mengucapkan ijab qabul, lalu disahuti kata sah. Tangan-tangan tengadah memanjatkan doa-doa untuk kebahagiaanmu. Kita berjarak beberapa jengkal, kamu bahkan mungkin bisa mendengar gemuruh di dadaku yang sesak. Aku tidak akan menangis, lantaran harapanku untuk hidup bersamamu dipaksa kandas.
Anggap saja, aku telah menjagamu selama beberapa bulan terakhir atau sebaliknya. Hari-hari yang dipupuk dengan benih-benih harapan, mimpi-mimpi menapaki masa depan dengan saling bergandengan tangan. Mempunyai rumah impian, di anugerahi anak-anak yang lucu. Aaaahh indah sekali hayalan itu.
Masih terpatri dengan kuat, ketika kamu begitu gugup menemui ayahku. Butuh waktu sekian menit dan peluh yang bercucuran hanya demi mengucapkan, "Pak, saya ingin menikahi Intan". Aku yang duduk agak jauh bahkan bisa melihat tanganmu yang gemetar. Pada akhirnya usahamu berbuah manis, lewat anggukan ayahku seraya senyum yang mengembang.
Jangan tanya perasaan ku waktu itu. Sesempurna senja yang merekah merah menuju peraduannya. Air mata seketika luruh, mendekap ke Ibu yang juga telah diliputi keharuan.
Aku adalah Intan, permata dalam hidup Ayah dan Ibu. Satu-satunya tempat curahan kasih dan sayang mereka. Tunggal nan jadi putri tumpuan harapan. Aku telah menyandang gelar sarjana diusia sangat muda, Allah mengkaruniaiku dengan kesehatan jasmani dan kelincahan pikiran. Masyaallah, tidak akan dapat ku dustakan nikmat-Mu ya Rabb.
Setidaknya butuh kurang lebih 3 bulan waktu untuk persiapan pernikahan. Begitu kira-kira percakapan ayahku denganmu. Kamu hanya mengangguk-angguk takzim. Tidak ada resepsi besar-besaran, hanya prosesi ijab qabul dan sedikit tasyakuran mengundang anak yatim dan dhuafa, begitu terang ayah. Lagi-lagi kamu hanya mengangguk-angguk takzim.
Aku memang tidak pernah mencap kita berpacaran. Kita berkomunikasi dimedia sosial lebih banyak membahas ilmu fiqh. Aku banyak belajar lantaran kamu punya ilmu lebih mumpuni di bidang Ulumul Fiqh. Tidak ada bahasan lain, sehingga ketika kamu nekad bertamu ke rumah dan menyampaikan maksud pada ayah, yang paling terperanjat adalah aku.
***********************
Bagiku senja adalah sepenggal waktu yang selalu indah, mempesona. Senja menjadi acuan terhadap apa yang terjadi hari ini. Lalu, sebuah notifikasi pesan menggetarkan ponselku, ya itu pesan darimu.
"Assalamualaikum, Intan. Maaf jika pesan ini mengganggu ritual mu menikmati senja, hehe. Oh ya, jika ada waktu luang, saya hendak mengundangmu ke rumah hari Jumat besok menjelang Ashar. Ada acara syukuran, sembari saya mengenalkanmu dengan keluarga. Wassalam".
Pesan yang tidak aku balas, mampu mengukir senyum dengan pipi merona. Setelah menyampaikan pesan tersebut pada Ayah dan Ibu, dan memutuskan untuk pergi bertiga. Masih 2 hari lagi, apa yang harus dipersiapkan? Baju mana yang akan dipakai?
Pikiran-pikiran receh yang menggelitik.
**********************
Ibu dan Bapak paruh baya menyambut kami di depan pintu, kami mengucapkan salam, "Walaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh, oalah ini toh keluarga nak Intan, iki yo Nak Intan. Cantik yo keliatan, walaupun mukanya di tutup" Sumringah Ibu tersebut menyalamiku. Aku memang bercadar.
Bapak itu membawa kami keruang tengah. Orang-orang sudah ramai, dekorasi rumah sederhana saja, dengan nuansa putih nan mendamaikan pemandangan. Beberapa orang mencermatiku, selidik penuh selidik. Sudah biasa aku alami, karena aku bercadar.
Sudah hampir 40 menit, tidak ada tanda-tanda akan ada acara apa. Aku juga sungkan bertanya. Orang-orang sudah bisik-bisik, krasak-krusuk, satu-dua sudah berpindah duduk. Adzan Ashar pun berkumandang, Aku dan Ibu izin untuk sholat. Kebetulan ada mushola terdekat, kami ikut sholat berjamaah ke sana.
************************
Sudah 17.35 WIB, masih tidak ada kejelasan ada syukuran apa. Lalu sebuah mobil datang, seseorang berbaju batik dan berpeci hitam turun, ya menunjukkan sekali beliau orang yang di tunggu-tunggu. Samar-samar Aku mendengar, "penghulu sudah datang". Penghulu? Berarti ijab qabul? Menikah? Siapa yang menikah?
Pikiran ku langsung penuh dengan deretan pertanyaan. Aku menerka-nerka kemungkinan baik. Bahkan kemungkinan mustahil pun muncul dalam pikiranku.
Masyaallah cantiknya pengantin wanita, dengan balutan adat jawa yang apik. Ayu parasnya dipoles dengan riasan pengantin khas jawa juga. Takjub sekali aku menyaksikan sosok pengantin tersebut. Lalu dia duduk di samping seorang pria yang sudah agak berumur, mungkin ada 55-60tahun. Mungkin itu ayah si pengantin wanita.
Seseorang datang, mengenakan pakaian senada dengan pakaian pengantin wanita tadi. Gagah dan begitu sedap dipandang. Ya Allah, itu hafiz. Dadaku panas, mataku buram oleh kaca-kaca. Ibu juga tidak sadar telah ternganga tidak percaya, Ayah yang duduk dekat majelis pria juga nampak kaget bukan kepalang. Aku menunduk, nelangsa menerpa palung-palung hati. Apa salah ku padanya, sehingga sebegini rumitnya yang harus ku saksikan.
Tidak dapat lagi mendengar dengan baik. Tidak bisa lagi menegakkan kepala. Rasanya aku dan keluarga ku di permalukan di sini. Ekor mataku sempat menangkap penglihatan ke Ibu Hafiz, kok ekspresinya biasa begitu ya. Bukankah waktu itu hafiz bilang keluarganya sudah tau rencana nya untuk menikahi aku?
Sekuat yang aku bisa menahan segala lara. Tidak baik langsung pergi meninggalkan majelis tanpa permisi pada tuan rumah. Entah bagaimana perasaan Ayah dan Ibu saat ini. Ibu hanya meremas-remas tanganku, menguatkan. Senja akan berakhir, lamat-lamat suara orang membaca alqur'an terdengar di Mushola. Pertanda sebentar lagi Magrib akan masuk.
Aku tidak tau apa-apa lagi, entah orang ijab qabul lancar, entah siapa bin siapa menikahi siapa binti siapa. Tidak jelas, aku sibuk teriak-teriak dalam hati. Mengumpat sejadi-jadi nya. Menyesal se sesal-sesalnya. Bodoh kamu intan, bodoh!
Mengapa berharap pada hafiz, berharap pada Allah. Sadar Intan! Sadar! Cinta itu berikan pada Allah, bukan pada hafiz!
Orang-orang sudah berdiri, satu persatu menyalami pengantin, ada juga yang sudah keluar. Aku tidak sekuat itu, kita lebih baik keluar juga. Ibu memberi kode pada Ayah, agar ikut keluar juga. Kami berjalan menuju pintu, tetiba suara yang familiar itu, "Intan?"
Aku menoleh, apa? Hafiz?
Hafiz dengan balutan kemeja batik, lalu yang mengenakan pakaian pengantin?
Antara percaya dan tidak, ada 2 hafiz saat ini. Menyadari terlalu lama berdiri di ambang pintu, Ibu Hafiz mempersilahkan duduk lagi. Kemudian dia menjelaskan bahwa Hafiz ini kembar, dan yang menikah adalah kembarannya Hasan. Untung aku bercadar, andai tidak betapa merahnya mukaku bisa disaksikan orang-orang. Pengantin wanita yang telah aku ketahui namanya Mira memeluk manja sembari cium pipi kanan kiri, "maaf yo mbak, mbak e jadi cemas", dia tertawa seolah paham apa pikiranku sedari tadi.
Senja telah dijemput oleh gema adzan Magrib. Kami bersiap bersujud pada Illahi Rabbi. Senja telah menggetarkan dada ku, senja juga telah memekarkan hati ku.
Senja selalu memiliki pesona, menurutku.
-End-
Kalampan, Selayo Solok
(Image by www.pinterest.com, manipulated by Bidadari Syurga)
Post a Comment