Bangunan Rumah Sakit ini memang sudah tua, warisan dari penjajahan Belanda, didirikan tahun 1928. Lihat saja bangunannya sangat klasik. Ya, ia bernama Rumah Sakit Dr. Pirngadi.
Silakan anda masuk ke dalamnya, pasti nuansanya serasa dibawa ke era penjajahan masa lalu. Kondisinya cukup menyedihkan, banyak asbes yang bolong disana-sini, kondisi bangunan yang yang sudah saatnya direhab dan kamar mandi yang jauh dari bersih dan sebagian kamar penginapan pasien hawanya lembab, banyak nyamuk, dan rasanya keadaan seperti ini tidak layak untuk dihuni orang yang sakit. Belum lagi masalah pelayanan terhadap pasien kurang mampu, masih jauh dari yang diharapkan. Apalagi yang namanya BPJS, gratis pula. Tak ada senyum ramah tamah para perawatnya.
Areal Rumah Sakit ini sangat luas, seperti komplek perumahan saja layaknya. Sebagian areal sudah didirikan bangunan baru yang modern dan megah tapi tetap masih kalah modern dengan Rumah Sakit-Rumah Sakit Swasta yang ada di kota Medan ini.
Tapi bukan masalah Rumah Sakit dan pelayanannya ini yang ingin saya bahas. Melainkan tentang kehidupan mahluk kecil mungil dan unyu-unyu yang memprihatinkan.
Di lingkungan areal Rumah Sakit ini hiduplah masyarakat kucing tanpa tuan. Entah darimana datangnya kucing-kucing tersebut, yang jelas mereka sudah lama disana, tidur, makan, dan tinggal ditempat itu. Dan kehadiran mereka tak mendapat perhatian oleh manusia-manusia yang lalu lalang disana. Bahkan ada yang mendapatkan perlakuan kasar seperti ditendang, di usir, disiram air.
Jatah makan kucing-kucing ini hanya mengharap dari kebaikan para penghuni Rumah Sakit tersebut dengan menyisakan sebagian makanan mereka. Atau sisa-sisa dari makanan yang dibuang di tong sampah. Itu lah yang mereka makan. Kondisi kucing-kucing itu cukup membuat hiba hati saya. Tubuh mereka rata-rata kurus.
Menyedihkan memang. Namun jangan berharap banyak dari jatah makanan para penghuni Rumah Sakit ini. Kadang ada sisa, kadang tak ada sama sekali, dan memang tak ada niat para penghuni Rumah Sakit ini secara khusus memberi kucing-kucing tersebut makan. Kalau ada jatah ya silakan makan, kalau tak ada ya rasakan sendiri. Urusan manusia banyak lagi yang lebih penting ketimbang memberi makan kucing-kucing ini (begitulah mungkin ya kebanyakan pemikiran manusia-manusia ini).
Berpuluh-puluh ekor kucing berebut sisa nasi, sayur dan tulang yang dibuang. Apalah artinya? Disini terjadilah hukum rimba, kucing yang punya kekuasaan tentu mendapat jatah makanan yang lebih banyak ketimbang kucing-kucing yang lemah. Makanan yang dilempar disantap oleh kucing-kucing yang kuat tersebut sedangkan kucing-kucing yang lemah hanya jadi penonton dengan menahan perut yang lapar.
Diantara banyak para kucing yang berkeliaran. Ada dua ekor anak kucing yang menarik perhatian saya. Anak-anak kucing tersebut sangat manis dan lucu dengan bulu mereka berwarna kuning dan yang satunya belang tiga. Tubuh mereka sehat, bulunya bersih dan lebat.
Mereka asyik bergelut dan bercengkrama, berkejar-kejaran kesana kemari. Gemes saya melihatnya. Dan saya sempat menggendong sambil mengelus-elus kepala mereka. Mereka diam saja saat dalam pangkuan saya.
Ternyata anak kucing yang unyu-unyu ini jinak, ingin rasanya saya bawa pulang dan pelihara. Tapi tak mungkin, rumah saya jauh dan keadaan saya yang tak memungkinkan membawa mereka. Ya sudahlah apa boleh buat. Saya cuma berharap mereka sehat disini. Semoga ada orang yang mau perduli dengan nasib mereka.
Beberapa minggu kemudian saya kembali ke rumah sakit lagi. Hal pertama yang saya ingat adalah mahluk mungil unyu-unyu tersebut. Saya cari keberadaan mereka? Namun mereka tak tampak lagi. Kemana mereka dan bagaimana nasibnya? Ada rasa kehilangan...
Waktu pun terus berlalu. Karena ada kesibukan, saya tak memperhatikan mereka lagi.
Dan suatu hari, akhirnya saya melihat salah satu diantara mereka, yaitu si belang tiga. Kondisinya memprihatinkan, badan kurus, perut kempis, dia tak lagi berlari kesana kemari tapi hanya diam duduk dan sesekali mendatangi orang-orang yang sedang makan, mengharap dia diberi sisa jatah.
Hiba hati saya, saya hampiri dan mengelus kepalanya. Dia membalas elusan sayang saya dengan menggosok-gosokkan badannya ke kaki saya. Lama dia berbuat seperti itu. Mata bulat beningnya menatap saya dengan penuh harap, seolah berkata: "Tuan, apakah Tuan punya makanan untuk saya, perut saya lapar sekali?"
"Ah Belang, seandainya kamu di rumah saat ini, aku pasti memberimu makan yang banyak".
Pengalaman diatas menguatkan keyakinan saya selama ini bahwa tak ada kucing non rumahan diluaran sana yang hidupnya sejahtera. Kalau pun ada hanya sedikit dan dan selebihnya mereka terlunta-lunta di luar sana mengais makanan mempertahankan hidupnya bahkan ada yang meregang nyawa dilindas kenderaan.
Hewan mungil ini memang tergolong binatang buas tapi jangan samakan mereka dengan binatang predator liar yang bisa mempertahankan hidup di hutan belantara sana. Mereka kucing-kucing ini tetaplah binatang rumahan yang dekat dengan manusia. Mereka kebanyakan berdiam di rumah manusia dan mendapatkan makanan disana, bukan dengan berburu tikus, burung dan anak ayam....
Tanpa dukungan manusia, kucing-kucing ini akan tetap terlunta-lunta.
(RS. Pirngadi 2017, saat membesuk mendiang kakakku - Difan96)
Post a Comment