(Kenangan bersama si Hitam)
Melihat orang-orang ramai bergowes (baca: bersepeda) ria, timbul lagi keinginan untuk ngegowes setelah sekian lama fakum. Apalagi saat pandemi begini bersepeda itu jadi trend.
Beraneka macam jenis sepeda terlihat, tapi kebanyakan jenis sepeda gunung. Dari mulai merek mahal, menengah sampai yang murah menghiasi jalanan saat pagi dan sore. Mungkin karena sepeda gunung itu keren ya, macho dan sporty.
Saya termasuk maniak sepeda gunung dan olah raga, tapi itu dulu sekitar 5 tahun yang lalu. Sekarang bukan ga maniak lagi, tapi... baca ajalah terus artikelnya?
Jiwa sombong saya muncul dan ingin rasanya berteriak, "Woooi, kenapa baru sekarang kalian ngegowes dadakan gini, aku sendiri sudah 5 tahun lalu malang melintang dengan sepeda sportku, kemana aja kalian??"
Heran juga kenapa saat pandemi begini, bersepeda jadi trend? Apa karena mereka ingin menjaga imunitas tubuh karena takut dengan virus Corona? Saya lihat ada juga bersepeda yang tak mengenakan masker dan tak menjaga jarak lagi.
Tapi saya senang melihatnya, semangat untuk sehat, semangat memasyarakatkan bersepeda.
Sayang, niat yang menggebu-gebu untuk bersepeda kembali hanya tinggal niat. Sekuat apa pun keinginan tetap tidak bisa terealisasi, lha orang sepedanya sudah ga ada alias sudah dijual.
"Kok bisa?"
"Ya bisa aja?"
Saat itu karena ada keperluan penting, dan saya sangat butuh uang, terpaksa si Hitam yang ganteng saya iklankan ke OLX untuk dijual. Berat juga untuk melepasnya, banyak sudah kenangan petualangan menjelajah bersama si Hitam. Saat membeli dulu, spare part seperti Gear, ban, pedal, kanvas rem cakram, as pedal bawaan tidak standart. Terpaksa saya ganti satu persatu dengan spare part berkualitas. Lumayan menguras kantong, tapi saya puas, namanya hobby?? Dan si Hitam pun jadi makin ganteng.
Hanya satu yang belum sempat saya ganti yaitu fork depan alias shockbreaker. Ya mengingat harganya yang sangat mahal sampai jutaan.
(spare part sudah oke)
(makin ganteng)
Kala itu hobi ngegowes di tempatku masih sedikit, tidak seheboh sekarang. Orang-orang ngegowes sepeda gunung saat itu masih terlihat eksklusif. Dan cukup bangga juga kemana-mana ber-Mountain Bike-ria. Saya memang suka tampil beda dan ga mau mainstream, wkwkwk.. 😚
Ga butuh lama untuk menjual sepeda kesayangan saya itu. Dalam beberapa hari sudah banyak yang menelepon. Saya jual lumayan murah, karena kalau pasang harga mahal pasti lama terjualnya. Orang kan tahunya harga murah tapi barang bagus? Menyesal juga menjual murah, padahal lumayan banyak dana keluar untuk mendandanin si Hitam.
Terang aja yang beli beruntung sekali, manggut-manggut dia pelototin tu sepeda dari atas sampai bawah. Sepertinya dia puas sekali, memang terlihat masih baru. Saya tipe orang perawat barang. Walaupun sudah lama terpakai tapi tetap terlihat bersih seperti baru.
Setelah puas melihat dan test drive, saya kira dia langsung mau bayar, eh rupanya dia mau menawar harga lagi? Ingin rasanya saya lempar gear kepalanya. Lha barang bagus harga murah masih juga ditawar??
Akhirnya si hitam pun berpindah tangan. Sedih melepasnya, sampai nangis saya lho, bukan lebay, tapi antara saya dan si Hitam sudah terjalin ikatan emosional. Sedih bukan karena ga bisa ngegowes dan olah raga lagi tapi sedih kehilangan si Hitam.
Tapi ya sudahlah, nanti ada rezeki bisa beli yang lebih bagus. Bisa semangat ngegowes dan berpetualangan lagi menjelajah dari satu tempat asing ke tempat asing lainnya.
Untuk sementara ngegowesnya pake kaki aja alias ngejoging, hehe..
Salam Gowes...!!!!
Post a Comment