Nafi menatap gedung di hadapannya dengan perasaan sendu. Gedung tersebut adalah gedung sekolah SMAnya. Ini hari terakhir baginya memakai seragam putih abu-abu. Tadi pagi sehabis ujian akhir dia dibawa teman-temannya berkeliling dengan menyewa angkot, mereka pergi ke luar kota untuk merayakan hari terakhir meraka bersekolah.
Sebenarnya Nafi malas berjalan-jalan bersama teman-temannya itu. Ya Nafi tak merasa menganggap mereka itu teman-temannya. Mereka itu cuma satu sekolah saja, tak lebih. Pun dia sebenarnya enggan seragam SMAnya dicorat-coret, tapi dia dipaksa anak-anak satu kelasnya itu. Yah, buat apa bersenang-senang sama orang-orang yang selalu mengolok-olok dirinya.
Nafi dibawa teman-teman sekolahnya ke luar kota. Sebuah tempat rekreasi. Tempat itu sudah sering dia kunjungi. Kalau saja dia tidak pergi bersama teman-teman yang bukan temannya itu, tentu Nafi sudah menikmati pemandangan di tempat tersebut. Waktu serasa lama berjalan.
Sehabis berjalan-jalan ke luar kota bersama teman-temannya tadi, mereka kembali ke sekolah. Dari sini semua pada berpencar pulang ke rumah masing-masing. Tinggal Nafi dan Putra sahabat baiknya. Mereka tidak langsung pulang tapi masih berdiri didepan sekolah sembari menatap gedung bertingkat 4 tempat belajar mereka selama 3 tahun.
"Aku sedih berpisah dari sekolah ini, sedih sekaliii, sedih bukan karena merindukan sekolah ini, tapi sedih karena tak satu pun kenangan manis yang aku dapatkan disini" Tiba-tiba Putra nyeletuk.
Celetukan Putra membuyarkan lamunan Nafi.
"Iya Put?"
"Aku juga sedih, tak ada kenangan indah yang aku dapatkan disini, waktuku terbuang sia-sia".
"Terus apa rencanamu selanjutnya Put?" Tanya Nafi.
"Belum tahu, tapi aku mau pulang ke Palembang dulu" sahut Putra
"Kalau kau, apa rencana Naf?"
"Mungkin kuliah Put, orang tuaku menginginkan aku kuliah. Tapi aku sebenarnya ga minat kuliah. Buat sementara aku rehat dulu lah?" Jawab Nafi.
"Orang tuamu benar-bebar memikirkan masa depanmu?" sahut Putra.
"Mereka sebenarnya memikirkan masa depan mereka, bukan masa depanku!" jawab Nafi
"Jadi kita berpisah ni Put?" tanya Nafi lagi.
"Masih ada beberapa minggu waktuku di Medan, entahlah Naf, aku kayaknya memang ga balik lagi ke Medan?" Sahut Putra lirih.
Nafi menoleh, memandang wajah sahabatnya itu.
"Apakah aku akan kehilangan sahabat baikku lagi? Tanya Nafi dalam hatinya.
Putra di Medan ini tinggal bersama saudaranya. Dia memang asli anak Palembang. Perawakan Putra seperti artis-artis Mandarin dan Korea. Makanya banyak cewe-cewe yang suka sama dia. Beruntung juga sih berteman sama Putra, dia suka banyak kenalan cewe-cewe cantik. Dan Putra ga pelit, dia sering memperkenalkan teman-teman ceweknya itu ke Nafi. Hanya saja siapa yang mau sama Nafi? 😂.
"Udah siang Put, kita balik aja ke rumah?" Ajak Nafi.
"Aku minta nomor telepon rumahmu Naf?" pinta Putra (ceritanya waktu itu belum ada HP coy)
Sekali lagi mereka memandang gedung sekolah mereka dengan sejuta kenangan pahit.
3 tahun sudah Nafi melewati masa-masa suramnya di sekolah ini. Hari demi hari hanya menghitung hari. Tak ada masa kenangan dan keindahan. Semuanya hanya kenangan pahit yang mendalam. Masih teringat bagaimana pembulian itu dia jalani.
Nafi bukanlah remaja aneh, sama seperti remaja lainnya, Nafi juga suka bercanda, gila-gilaan seperti anak-anak lainnya. Nafi juga ingin seperti mereka yang sedikit bandel seperti remaja kebanyakan, tapi tidak dengan menjatuhkan kehormatan orang lain.
Pantas saja Nafi tak diterima di lingkungannya. Dunia remaja yang dia hadapi bukanlah sebuah dunia kewajaran untuk anak polos seperti Nafi. Dia butuh proses dan spirit untuk bisa melangkah kesana. Namun dunia yang tak wajar ini tak memberinya kesempatan sedikitpun untuk itu. Jadilah Nafi bahan ejekan dan olok-olok anak-anak satu kelasnya. Nafi pernah melawan tapi dia malah terseret dalam pembulian lebih dalam.
Dan hari-hari pun kian membuat Nafi jadi terpuruk. Dia ingin saja rasanya berhenti bersekolah. Tak ada gunanya sekolah ini. Nafi marah, Nafi dendam dan frustasi, tapi tak bisa melakukan apa pun. Nafi putus asa tak ada tempat untuk berbagi cerita. Bercerita kepada siapa?
Andai saja Nafi waktu itu mengenal Rabb-nya lebih dekat, pasti dia bisa lebih tegar menghadapi ini. Allah Maha Mendengarkan rintihan orang-orang yang dizhalimi.
Nafi merasa cuma dialah yang merasa paling aneh di dunia ini. Ya, orang aneh becerita kepada orang yang merasa wajar, gimana jadinya? Tak ada jalan lain bagi Nafi kecuali harus menamatkan study SMA nya selama 3 tahun.
Selevel remaja seperti Nafi tidak cocok untuk berbaur dengan anak-anak norak dan kampungan seperti itu. Harusnya Nafi berbaur di sekolah yang sehat atau di pesantren yang sehat pergaulan. Kasihan Nafi, waktu remajanya habis terbuang sia-sia.
Beruntung saat naik ke kelas 3, Nafi berkenalan dengan teman baiknya bernama Putra. Dari sini rasa percaya diri Nafi mulai pulih. Dia mulai percaya diri. Dirinya tak seperti 2 tahun yang lalu. Tetap saja aktifitas bully tidak berkurang, malah semakin menjadi. Dirinya masih dipermalukan didepan orang banyak.
Dan ternyata perpisahan dengan sahabat baiknya Putra, benar-benar perpisahan selamanya. Semenjak lulus dari SMA, mereka hanya bertemu sesekali.
Setelah sahabatnya bertolak ke Palembang, Nafi sering berkirim surat, tapi tak pernah ada balasan, hingga suatu ketika alamat sang sahabat pun hilang. Usailah sudah hubungan persahabatn ini. Tak ada lagi kabar berita.
Waktu terus berlalu, Alhamdulillah Nafi menemukan jati dirimya saat dia memasuki dunia mahasiswa, dunia kampus, dunia yang dewasa. Dunia yang tak sekelam dia fikirkan.
**************
Dimana pun kita berpijak di muka bumi ini, selalu ada orang-orang dengan jiwa yang tak sehat. Kita tak bisa menghindari, itu sudah seperti fase yang harus kita lalui. Kita tak bisa berharap jalan yang kita lalui itu mulus-mulus saja. Karena memang beginilah kebanyakan tipikal masyarakat kita. Merasa gembira melihat orang lain dipermalukan didepan orang banyak.
Siapa yang kuat dia akan bisa bertahan, siapa yang lemah maka akan menjadi bulan-bulanan kesedihan.
(By Difan)
Post a Comment