(ilustrasi)
Jalan Karya 2 Sei Agul 20 tahun yang lalu tepatnya tahun 1988 adalah tempat yang asri, adem, lengang dan damai. Disepanjang jalan Karya 2 Sei Agul ini banyak berdiri pohon-pohon rindang. Ini yang membikin adem dan sejuk saat melintasi jalan yang panjang dan beraspal mulus ini. Memang tempat yang adem dan tenang kayak gini biasanya dihuni oleh orang-orang penting kelas atas. Tapi kami yang bukan kelas atas pernah tinggal disana.
Kami tinggal di sebuah komplek yang bernama PemDa. Almarhum ayah membeli tanah kosong disana dan membangun sebuah rumah, dengan ibu saya sebagai arsiteknya. Banyak yang memuji rumah kami dan bertanya siapa tukangnya? Padahal tukang cuma membangun doang. Ibu saya yang merancangnya.
Suasana di komplek memang adem, tenang, ga berisik. Jarak rumah tidak rapat-rapat. Kebanyakan rumah berjenis klasik, maklum banyak rumah dinas. Kebetulan daerah komplek rumah kami bersebelahan dengan sungai besar. Diseberang sungai berdiri pabrik besar permen Sugus. Saya masih ingat betul suara sirine dari pabrik meraung-raung memecah keheningan suasana, tanda jam istirahat para karyawan.
Saat itu kami yang masih remaja kecil sering bermain-main berkeliling di komplek-komplek perumahan yang ada disana (sebagian daerah Sei Agul ini dulunya masih sawah-sawah dan hutan). Masih ingat dulu kami keluar masuk komplek mencari-cari kucing sebagai pengganti kucing kesayangan kami yang sudah tiada.
Masa itu pula, almarhum ayah, nenek dan kakak masih ada. Disana tersimpan kenangan dari kisah hidup mereka. Kita sekeluarga saat itu masih lengkap.
Rumah kami disana menjadi tempat kumpul para anak-anak komplek, bapak-bapak dan para ibu-ibunya. Mungkin karena kami membangun sebuah kedai kecil disisi kiri rumah. Di teras kedai ada tempat duduk menghadap ke jalan, cocok untuk ngumpul dan ngerumpi.
Kalau sore, anak-anak komplek ngumpul sambil main tenis meja didepan rumah. Aduh jadi teringat saya. Seru main tenis meja saat itu. Saya jago lho main tenis meja?
Para ibu-ibu kompleknya pun tak ketinggalam ngumpul dan ngerumpi sambil bawa anak di teras kedai. Baru malamnya giliran bapak-bapaknya ngobrol ngalor ngidul sambil merokok. Kedai kecil itu jadi semacam basecamp penghuni komplek.
Setelah beberapa tahun tinggal disana, entah kenapa, ayah dan ibu saya berniat menjual rumah kami tersebut. Saya dan adik-adik terang saja protes, karena sudah betah dan nyaman tinggal disana. Tapi ayah dan ibu yang punya kuasa dan wewenang, akhirnya rumah pun terjual. Sedih rasanya.
Kebiasaan kami selalu berpindah-pindah rumah, tak pernah menetap selamanya di suatu tempat. Saat ini sudah kali ke 4 kami pindah rumah, dan ini rencana ingin pindah lagi.
Tapi sepanjang kami punya rumah, cuma di jalan Karya 2 Sei Agul inilah yang paling kami sukai rumahnya / suasananya / temannya. 12 tahun lamanya kami tinggal disana tentu meninggalkan banyak kenangan indah.
Dan kini, tidak tahu kapan persisnya, saat kali terakhir saya melewati kawasan Karya 2 Sei Agul ini, betapa sumpek, berisik dan macetnya sepanjang jalan. Ternyata Karya 2 Sei Agul telah berubah drastis.
Apa yang terjadi dengan tempat yang tenang dan damai ini?
Kalau 20 tahun yang lalu di sepanjang tepi jalan ini berjejer rumah-rumah dinas klasik, sekarang sudah raib berganti dengan ruko alias rumah toko. Tempat yang adem dan damai tersebut telah berubah menjadi gedung-gedung bertingkat, rumah-rumah toko, bengkel dan lapak-lapak pedagang jualan.
Oh betapa sumpeknya pemandangan, tak ada lagi suasana adem, tak ada lagi ketenangan, tak ada lagi pemandangan indah, yang ada hanya ruko dan ruko serta segala aktifitasnya yang bikin pusing kepala.
Dahulu daerah ini lengang, tidak ada yang namanya kenderaan antri di jalanan, sekarang macetnya minta ampun. apalagi saat sore. Kalau ada jalan pintas, saya ga mau lewati jalan Karya 2 Sei Agul ini lagi.
Semua memang tak ada yang tak berubah, pasti berubah. Saya ga tahu apakah perubahan seperti di jalan Karya 2 Sei Agul Medan ini adalah sesuatu yang positif atau negatif? Entahlah yang pasti setiap perubahan suatu tempat pasti selalu menghilangkan sisi orisinil tempatnya, orisinil suasananya, kenangannya, dan ketenangannya.
Bukan cuma di Karya 2 ini, di tempat-tempat lain di kotaku juga sudah banyak perubahan. Berubah dari tempat yang tenang, adem menjadi keramaian, kesumpekan dan keberisikan.
Medan kotaku dulu terkenal dengan julukan Paris Van Sumatra, yang katanya Medan dulu seperti kota Paris, tapi sekarang Medan dijuluki Kota Ruko karena di sudut mana pun daerah Medan ini berdiri ruko-ruko yang merusak pemandangan. Hampir semua rumah warga di suatu tempat dibeli pengembang, dan kemudian diubah jadi pusat pertokoan dan supermarket.
Sekarang kalau melintasi jalan Karya 2 ini, pemandangan adem itu hanya dalam khayalan. Semakin kedepan, semakin bertambah tahun semakin banyak perubahan. Dimana ada prospek pundi-pundi keuntungan maka berdirilah disana bangunan-bangunan mesin penghasil uang.
Selamat tinggal Karya 2 Sei Agul yang tenang dan damai. Kini kau hanya sebuah tempat yang asing bagiku, tempat yang tak lagi bisa menjadi pelipur lelah saat dalam kejenuhan.
Ya perkembangan zaman tidak bisa kita hindari sob...
ReplyDeleteIya Sob, sayangnya perkembangan jaman kebanyakan membawa dampak yang tidak diharapkan. Semoga kedepannya Medan msngurangi populasi rumah2 toko nya...
ReplyDeletePost a Comment