Tak terasa Idul Fitri sudah semakin jauh kita tinggalkan. Perlahan tapi pasti suasana kegembiraan hari raya ini memudar dan sirna. Memang sih Syawal itu sebulan lamanya, tapi suasana Idul Fitrinya cuma 4 hari, atau paling lama seminggu.

Orang-orang sudah pada kerja, anak-anak sudah bersekolah, toko-toko sudah pada buka, pajak/pasar sudah ramai. Kesibukan sudah seperti sedia kala. Sediiih...

Lho kok sedih...?

Jelas sedih, kalau menurut saya kegembiraan yang tiada duanya di dunia itu cuma ada ditemui di Idul Fitri. Apalagi momen Idul Fitri itu identik dengan kenang-kenangan masa kecil. Tak kan terlupakan.

Selain itu juga alasan kenapa saya tak ingin rasanya Idul Fitri berakhir. Karena setiap hari hidup ini selalu diwarnai dengan kesedihan, kekhawatiran, kecemasan dan masa depan yang tak pasti. Tiap hari kita dihadapkan dengan kesedihan, dan ketika tiba momen Idul Fitri, serasa hilang semua kegundahan tadi. Idul Fitri bagi saya sebagai pelipur rasa sedih dalam setahun sekali.

Seperti yang dikatakan seorang ulama besar Salaf Rahimahullah (saya lupa namanya). Beliau pernah mengatakan, kira-kira begini kalimatnya : "Hidup ini lebih banyak kesedihannya, sementara kegembiraannya hanya datang sesekali seperti hari raya".

Jadi kegembiraan di dunia ini mahal harganya.

Sebagian orang-orang yang imannya full charged sedih karena berpisah dengan bulan Ramadhan, saya malah sedih berpisah dengan Syawal (Idul Fitri). Aneh saya ya?

Bukan berarti Idul Fitri itu bagi saya hanya sekedar bersenang-senang, berpuas-puas makan dan minum yang enak-enak. Bukan itu poinnya. Idul Fitri itu bagi saya sebagai tempat istirahat sementara dari pahit getirnya kehidupan dunia ini. Faham ora son?

Namun ditengah-tengah suasana kegembiraan Idul Fitri ternyata ada yang bikin hambar dan kesal. Lagi-lagi penyebabnya di medsos, saya jumpai poster dakwah yang isinya bisa anda lihat di gambar paling atas dari artikel ini.

Kalimat dalam poster dakwah diatas menurut saya terlalu berlebihan kalau ga mau dibilang ada kesan sombong. Membanding-bandingkan ibadah orang yang alim dengan yang awam. Orang yang bersusah payah berpuasa dan tak maksimal dalam ibadahnya difonis berbahagia merayakan Idul Fitri karena telah merasa bebas dari Ramadhan. Menurut saya ini tidak fair, hal ini harus dirinci lagi, tidak main pukul rata. Ya, ini menurut opini saya. Saya berhak beropini kan?

Begini....

Tak semua ummat Islam ini imannya selevel para ustadz, para penuntut ilmu, para ahli ibadah, para ahli khusyuk yang selalu menikmati lezatnya iman dalam ibadah-ibadah mereka. Ga semua.....

Ga semua ummat Islam bisa ngebut beribadah disaat berpuasa selama 30 hari. Mungkin diantara mereka ada yang bekerja lumayan menguras fisik seperti: Kuli, tukang beca, cleaning service, delivery, dan lainnya yang semisal itu. Atau ada juga yang staminanya sudah tak prima lagi baik karena faktor usia maupun sedang sakit. Dan berpuasa selama sebulan penuh itu tidak ringan, wahai sobatku? Apalagi saat berpuasa tersebut kita harus tetap semangat beribadah dan menjalankan aktifitas rutinnya. Belum lagi faktor cuaca yang belakangan ini luar biasa panasnya. Tapi mereka tetap tetap berpuasa niat lillahi Ta'ala dengan segala kesanggupan mereka. Dan anda tak tahu itu.

Maka apakah salah bila mereka yang saya sebut diatas tersebut kepayahan / kesulitan dalam menjalani ibadah di bulan Ramadhan? Saya akui, puasa sebulan penuh ditambah dengan ekstra ibadah itu berat, sangat berat, tak masuk akal kalau dikatakan ringan. Jangan samakan kondisi iman anda yang mungkin selevel para wali / kekasih Allah dengan iman ummat Islam kebanyakan. Jelaslah anda pemenangnya. Sedangkan mereka para awam ada yang bolong-bolong Tarawih dan Tadarusnya, juga sholat malamnya. Kadang khusyuk kadang tidak, malah ada yang jatuh sakit.

Sekalipun yang berpuasa tersebut ada juga yang lalai, misal: berghibah, tidak bisa mengontrol emosi, terkadang timbul syahwat saat melihat wanita di siang hari, dan lainnya. Banyak kan seperti ini? Jelaslah banyak?

Dan saat Ramadhan berakhir, anda mengkritik dengan membandingkan amalan orang awam dengan orang-orang alim yang full charged imannya. Rasanya kesannya gimana gitu?

Secara tak langsung, sama saja anda mengatakan kalau orang-orang awam yang puasa dan ibadahnya lalai tadi tak berhak merayakan Idul Fitri. Yang berhak merayakan Idul Fitri hanya anda dan pengikut anda, yaitu para ahli ibadah, ahli ilmu, ahli khusyuk, ahli suci dari dosa, ahli taufiq wal hidayah. Diluar mereka tak berhak dan tak layak karena dosa-dosa mereka yang tak diampuni selama Ramadhan.

Ada jutaan bahkan milyaran ummat Islam di dunia ini yang mungkin tak pantas berhari raya, tak pantas bergembira karena iman dan ibadahnya tidak maksimal, serta dosa-dosa yang tak diampuni. Kasihan sekali ya?

Apakah anda tahu diantara para orang awam yang lalai tadi selama Ramadhan, mana yang memang sengaja lalai atau memang terjebak kelalaian secara manusiawi. Kalau yang sengaja lalai, mungkin pantas disalahkan, tapi bagaimana yang terjebak dalam kelalaian padahal niatnya ingin bersungguh-sungguh? Semua ada pengecualian, tidak main pukul rata.

Bukankah orang-orang Islam yang sudah mati rasa (tidak khusyuk) dalam ibadah karena terlalu banyak dosa, tetap disuruh juga untuk sholat, tetap disuruh juga untuk baca Al-Qur'an dan melakukan ibadah-ibadah lainnya. karena apa? Karena Allah itu Maha Penyayang, Maha Pengampun terhadap hamba-hambaNya.

Hargailah dan berilah udzur atau penyemangat bagi orang yang puasa dan ibadahnya masih banyak kekurangan disana disini. Setidaknya mereka-mereka yang berpuasa dengan segala kekurangannya masih mau untuk menunaikan kewajiban mereka. Di luaran sana masih banyak orang-orang yang seenak perutnya makan, minum, ngerokok disaat orang berpuasa, tanpa merasa berdosa. Orang-orang seperti inilah harusnya berhak disalahkan dan termasuk dalam meme diatas tersebut.

Ummat Islam berhak berhari raya, berhak bergembira, sekalipun iman mereka tidak selevel para ahli ibadah, ahli khusyuk.

Anda mungkin menganggap saya ini termasuk orang yang lalai seperti yang dimaksud dalam poster diatas? Dan tulisan ini adalah bentuk ketersinggungan dan kebaperan saya?

Yo wes lah, terserahmu, lantak sian, buatlah dikau, silakan tuduh sepuasmu...

Post a Comment